RANI, namaku. Kata ibu, aku lahir bersamaan dengan munculnya gerhana matahari, tepat pukul 12.00 siang tangis pertamaku terdengar di dunia yang penuh kepalsuan ini. Tangis yang hanya aku sendiri yang mengerti. Tangis yang bagi orang di sekelilingku adalah tangis kebahagiaan. Tapi tidak bagiku. Tangis ini adalah tangis ketakutan terhadap dunia. Dunia busuk yang selalu berlindung di balik bungkus. Bungkus yang menjadikan kejelekan manusia terlihat sebagai kebajikan.
Ayahku adalah seorang kyai kondang di kotaku. Haji Ismet, biasanya orang-orang memanggilnya atau Pak haji saja. Entah kenapa kalau ayah dipanggil tanpa embel-embel haji, amarahnya langsung meledak. Bahkan pernah pembantuku langsung ditampar karena memanggilnya dengan sebutan Pak Ismet. Waktu itu aku belum mengerti. Kenapa tanpa embel-embel haji, ayah langsung marah.
Ayah lain sekali dengan ibu. Ibu termasuk wanita yang soleh. Jubaidah namanya. Ia adalah anak dari salah seorang murid ayah. Konon kata ayah pada kakek, kalau mau masuk surga, kamu harus menikahkan anakmu dengan orang yang memakai label haji atau kyai. Kakekku mengiyakan saja titah itu. Dan akhirnya ia menikahkan anaknya, ibuku, dengan ayahku. Hingga lahirlah aku sekarang.
Menginjak umur lima tahun, aku mengalami hal yang aneh. Aku sering menangis karena ketakutan. Ketakutan yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Bahklan ayah dan ibu pun tak mampu memahami ketakutan ini. Pernah, ketika aku diajak ke pesantren ayah. Aku berteriak dan menangis kencang.
“Ada babi, ada babi, ibu tolong aku, ibu. Ada babi yang berjalan mendekatiku,” teriakku sambil menangis minta tolong pada ibu dan bersembunyi di balik dekapan kasih sayangnya.
Tentu saja ibu bingung. Di sekitar pesantren itu, ternyata tidak ada satupun babi, atau hewan-hewan yang lainnya. Yang ada hanyalah seorang pejabat yang sedang berkunjung ke pesantrenku. Tapi, mengapa banyak pejabat yang mengunjungi pesantren ayah? Aku sendiri belum memahaminya waktu itu.
* * *
UMURKU sekarang sudah sembilan belas tahun. Wajah kecilku pun berubah menjadi wajah wanita yang mampu menarik hasrat seorang laki-laki. Bahkan, dadaku yang dulu masih rata, sekarang sudah tumbuh dengan begitu indahnya. Hingga kaum adam ingin menyentuhnya walaupun terselimut di balik indah jilbabku.
Ya, sembilan belas tahun sudah berlalu. Aku semakin terbiasa dengan ketakutan-ketakutan yang selama ini emmbayangiku. Ketakutan yang hanya aku sendiri yang bias mengerti. Ketakutan yang akhirnya menjadi suatu kewajaran bagiku. Ketakutan yang menjadikan aku memiliki kemampuan lebih jika dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya. Kata orang, aku memiliki indera keenam. Ada juga yang mengatakan ini adalah ilmu dari Tuhan karena aku lahir tepat ketika gerhana matahari. Entah apa alasannya?
Yang jelas aku memiliki keanehan yang tidak dimiliki orang lain yang membuatku takut. Aku mampu melihat manusia dalam arti sesungguhnya. Manusia yang dalam pandanganku tak lebih seperti seekor binatang. Keanehan inilah,s embilan belas tahun silam yang membuatku ditampar oleh ayah, karena seorang pejabat kupanggil babi. Keanehan ini juga yang membuatku berteriak di musholah, karena aku melihat ular-ular yang sedang sholat di sebelah manusia. Keanehan yang akhirnya hanya aku yang mampu memahaminya. Kenapa mataku ini melihat manusia sebagai sosok babi atau binatang lainnya? Atau keanehan mataku yang melihat ketampanan seorang laki-laki, yang walaupun di mata orang lain sungguh sangat jelek, yang juga masih membawa teka-teki.
* * *
“RANI, kamu kesini, Nak!” Panggil ayah di suatu malam.
“Ada apa, Yah?” jawabku sambil berjalan menuju ruang tamu dan kemudian duduk di sofa.
Entah aku merasa ada yang lain dari ayah. Mataku mulai memandang samar wajah ayah. Sepintas aku melihat melihat tumpukan uang di atas kepalanya. Tapi, sebentar lagi, kembali ke wajah asli ayah.
“Rani, kamu sudah paham kan ajaran Islam? Bahwa kita sebagai umat Nabi Muhammad haruslah mengikuti sunnahnya. Dan itu berarti kita harus menikah,” jelas ayah. Suaranya mirip sekali ketika ayah sedang berceramah di masjid-masjid. Lembut dan enak didengar. Tapi lain terdengar di telingaku. Suara itu memberi arti lain. Suara lmbut yang mengandung unsure paksaan. Bahwa aku harus menikah dalam beberapa minggu ini.
Seminggu kemudian, ayah memperkenalkanku dengan salah satu temannya. Prof. Kyai Haji Abdullah, namanya. Ia merupakan salah satu politikus Islam yang sangat terkenal di Negara ini. Bahkan ketenaran inilah yang sebentar lagi akan menghantarkannya ke kursi kepresidenan tahun ini. Ayah bilang, aku harus menikah dengannya karena ia merupakan seorang kyai yang sangat mengerti agama. Kyai yang telah hafal detail hadits-hadits Nabi Muhammad. Kyai Haji yang selalu didengar ribuan orang ketika ia berceramah. Professor Kyai Haji yang tangannya selalu dicium orang-orang yang berharap keselamatan darinya.
Tapi tidak dalam pandangan mataku. Mataku melihat lain terhadap kyai itu. Dalam pandangan mataku, ia hanyalah manusia berkepala buaya dengan perut yang buncit. Kyai yang telah bebas memilih dan menumpuk perempuan untuk dijadikan isteri dengan hadits-hadits Nabinya. Kyai Haji yang bebas meminta sumbangan untuk keperluannya sendiri dengan memakai ayat-ayat Tuhan. Prof Kyai Haji yang menipu umat hingga mau memilihnya di pemilihan presiden nanti dengan keislamannya. Kyai busuk yang tidak lebih tinggi dari seekor hewan.
Ayah dari hari ke hari selalu memaksaku agar mau menerima pinangan dari buaya itu. Bahkan, dorongan-dorongan ayah dari hari ke hari semakin terasa seperti paksaan. Omongan-omongan ayah muali berubah menjadi sebuah tamparan. Himbauan-himbauan mulai berubah menjadi sebuah makian. Tapi, aku tetap tidak mau menyerah. Menyerah kawin dengan seorang buaya yang perutnya buncit. Walau surga sekalipun imbalannya. Lebih baik aku tidak masuk surga, daripada dijadikan isteri kelima. Isteri yang dijadikan sekedar pemuas hawa nafsu seekor buaya yang berlebel Profesor Kyai Haji. Bajingan. Tidak lama kemudian aku jadi teringat dengan tumpukan uang di atas kepala ayah.
Kemudian aku bertanya pada ibu, “Mengapa aku harus menikah dengan laki-laki yang sudah beristri empat, Bu?”
“Dia kan seorang kyai, Rani. Nanti kamu pasti akan masuk surga kalau menikah dengannya!”
Tapi, aku tidak percaya dengan omongan ibu. Aku tidak percaya, kalau aku nikah dengan kyai pasti akan masuk surga. Aku mendesak terus, hingga ibu mengaku. Ya, ada motif lain selain motif agama. Ternyata ayah terlilit hutang dengan Haji Abdullah untuk pembelian mobil. Bahkan, kata ibu kalau aku menikah dengan Haji Abdullah, maka ayah akan dibelikan helicopter. Aku sadar ternyata ayah juga telah memanfaatkan ayat-ayat Tuhan, hanya untuk kepentingannya sendiri.
Berita penolakan pinangan si Buaya ini pun terdengar masyarakat pesantren. Mereka mulai menggunjingkan aku. Mencibir aku. Bahkan tidak jarang ada yang memakiku langsung.
“Dasar orang goblok. Masak dijadikan isteri kyai haji tidak mau. Goblok kan, kalau ada orang yang tidak mau masuk surga.”
Ada juga yang bilang aku bukanlah seorang anak yang patuh terhadap orang tua. Dan itu pasti ganjarannya adalah neraka. Ada-ada saja yang dijadikan alas an mereka untuk menyalahkan aku. Dan selalu alasan-alasannya dikaitkan dengan agama.
Lama-kelamaan tidak tahan juga aku tinggal di rumah. Tamparan-tamparan ayah kini selalu mendarat di wajahku setiap hari. Pesantren yang dulunya menjadi sahabatku, kini berubah menjadi musuhku. Kubereskan pakaianku. Kumasukkan ke dalam tas besar. Aku harus meninggalkan rumah. Jakarta…
Pagi-pagi sebelum subuh, aku diam-diam keluar dari rumah. Dengan bekal seadanya kutekadkan untuk kabur dari rumah ini. Aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah salah aku tidak menikah dengan seorang Kyai Haji yang sebenarnya seorang buaya berperut buncit? Apakah salah kalau aku sebagai seorang wanita, menolak ketika ingin dijadikan pemuas seks seorang Kyai? Apakah salah aku tidak mematuhi perintah orang tuaku, kalau perintah itu akan menghantarkanku ke derita yang nyata? Aku hanya mampu bertanya sepanjang langkahku menuju Jakarta.
Aku tak berharap mendapat jawaban dari makhluk-makhluk Tuhan. Karena aku yakin jawaban manusia telah salah terlampau jauh dari kebenaran Tuhan. Tapi inilah kenyataannya. Ayat-ayat Tuhan, hadits-hadits Nabi, dan perintah-perintahnya telah dijadikan dalih pemuas keinginan manusia. Manusia-manusia yang tidak lebih dari binatang yang bersembunyi di balik label-label Haji. Dan manusia yang sembunyi di balik tumpukan gelar.
“Tuhan, Lebih baik Aku tidak masuk surga, jika poersyaratannya aku harus menikah dengan Profesor Kyai Haji yang haus akan eksploitasi wanita.”
Sasmito