Kartini adalah tokoh yang unik pada abad ke-20 di Hindia Belanda. Ia berada dalam lingkungan sosial yang nyaman, suatu lingkungan yang banyak diharapkan oleh banyak orang: keluarga kaya, serta termasuk kelompok keluarga yang dihormati. Sebagai kelompok keluarga yang dihormati atau noble, Kartini mendapatkan kesempatan menerima pendidikan dibandingan masyarakat bumiputera pada umumnya. Terlebih lagi, kesempatan menjadi perempuan terdidik dibandingkan dengan sesama perempuan di zaman itu.
Mendobrak Adat Jawa
Lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Kartini dibesarkan dalam lingkungan keluarga bangsawan. Ibunda dari Kartini bernama Mas Adjeng Ngasirah, yang merupakan anak dari Nyai Hj. Siti Aminah dan KH. Madirono. Sedangkan ayahanda dari Kartini bernama Raden Mas Ario Sosroningrat, yang merupakan anak dari Pangeran Ario Tjondronegoror IV.
Pada usia sekitar 6 tahun Kartini sudah dapat masuk ke Europese Lagere School (ELS) yang merupakan sekolah formal diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Belanda, Eropa, keturunan peranankan Belanda, serta pada perkembangan selanjutnya dibuka bagi anak-anak bangsawan bumiputera. Awalnya berdiri di Batavia, kurikulum ELS terutama ditujukan untuk menjadikan anak didik sebagai warga negara yang baik. Kompetensi yang dituju terutama kemampuan untuk membaca, menulis, berbahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi, ilmu alam, dasar-dasar bahasa Perancis, bahasa Inggris, bahasa Jerman, serta matematika (Perempuan, Kebudayaan, dan Kewarganegaraan: Relevansi Nilai Juang Masa Kini ; makalah Semiarto Aji Purwanto dalam Bedah Sejarah Kartini pada Seminar Kartini Award 135, 24 April 2014).
Dari bersekolah di ELS Kartini belajar menulis dan membaca dalam bahasa Belanda. Dari kemampuan berbahasa Belanda, Kartini belajar sendiri dan juga menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Dari buku-buku, koran dan majalah dar Eropa, Kartini tertarik dengan kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan bumiputera, karena ia melihat bahwa perempuan bumiputera berada pada status sosial yang rendah.
Memasuki usia 12,5 tahun, Kartini harus tinggal di rumah karena sudah masanya untuk di-pingit. Para orang tua Jawa memingit anak mereka dengan tujuan menjaga perilaku, pergaulan, dan “kesucian” anak perempuan setelah masa akil balig. Dengan demikian Kartini tidak dapat melanjutkan cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah guru atau sekolah kedokteran. Kartini muda harus menerima realitas pemikiran masyarakat Jawa pada umumnya, yaitu bahwa perempuan tidak penting untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Karena pada kenyataannya hidup perempuan Jawa pada masa itu “hanya” seputar sumur-dapur-kasur.
Momen lulus dari ELS namun tidak boleh melanjutkan sekolah merupakan salah satu momen kegelisahan Kartini. Kartini selalu bersemangat belajar. Penghentian hasrat menempuh pendidikan menyebabkannya harus memutar otak untuk dapat terus belajar. Melalui bantuan dari kakaknya, Raden Mas Panji Sostrokartono, maka Kartini terus belajar di rumah dengan membaca buku-buku berbahasa Belanda.
Beberapa buku dan bacaan yang mempengaruhi Kartini antara lain adalah Max Havelar dan Surat-surat Cinta karya Mulatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata) karya Berta Von Suttner, buku-buku karya Van Eeden, karya Augusta de Witt, serta koran De Locomotief, dan majalah De Hollandsche Lelie, yang semuanya berbahasa Belanda (Menguak Jejak Sejarah R.A.Kartini di Kabupaten Rembang ; makalah Edi Winarno dalam Bedah Sejarah Kartini pada Seminar Kartini Award 135, 24 April 2014). Hal itu tentu mengakibatkan kartini memiliki, 1) wawasan yang luas, 2) menanamkan ide-ide pembaharuan terhadap tatanan sosial yang ada.
Pada perkembangan selanjutnya, korespondensi antara Kartini dengan guru, teman, dan sahabat pena dari luar negeri, terutama Belanda, telah membawa wawasan Kartini ke tempat yang berbeda. Korespondesi-korespondensi tersebut juga membawa ide-ide Kartini keluar dari dunia sempitnya di rumah, pada masa-masa Kartini muda sedang di-pingit. Melalui korespondensinya dengan Rosa Abendanon ( istri dari Jacques Henri Abendanon yang merupakan Direktur Kementrian Pengajaran, Ibadat dan Kerajinan Hindia Belanda) Kartini mendapat dorongan semangat. Dalam banyak suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda “door duisternis toot licht”.
Momen penting dalam kehidupan Kartini yang selanjutnya adalah ketika Kartini menikah. Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Djojohadiningrat, pada usia 24 tahun. Sebelum dinikahkan, Kartini mengajukan syarat kepada calon suaminya, yaitu 1)mendukung gagasan-gagasan Kartini, 2)diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar putra-putri pejabat Rembang, 3)memebawa serta ahli ukir dari Jepara untuk mengembangkan kerajinan itu secara komersial di Rembang. Semua persyaratan itu disetujui oleh R.A. Djojohadiningrat. Dalam resepsi atau upacara pernikahan pada 8 November 1903, Kartini pun 1)menolak dihias-hias, hanya dengan bunga, 2)menolak mengenakan perhiasan berlebih, hanya rangkaian bungan melati kesukaan Kartini, 3)menolak jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki suaminya.
Pendidikan dan Semangat Pembebasan
Melalui pernikahan dengan R.A. Djojohadiningrat, Kartini mengalami kondisi di-poligami. Kekecewaan atas kondisi kegagalan untuk maju dalam pendidikan juga masih menghantui Kartini. Maka sebagai konpensasi dari beberapa kondisinya tersebut, maka Kartini meminta fasilitas dari suami untuk mewujudkan ide-idenya. Lalu, didirikanlah rintisan sekolah perempuan di pendopo Kabupaten Rembang.
Dari keterangan Roekmini, adik Kartini, sosok R.A. Djojohadiningrat digambarkan sebagai sosok yang sederhana, rendah hati, bersemangat, berpengetahuan luas, serta berpandangan luas (R.A. Djojohadiningrat tercatat sebagai lulusan Universitas Leiden). Dalam suratnya tanggal 25 Agustus 1903, Kartini juga menuliskan “kebanyakan bupati mengira rakyat itu untuk mereka, hanya sedikit bupati yang berpendirian bahwa mereka itu untuk rakyat. Dan termasuk yang sedikt itu adalah Bupati Rembang” (Habis Gelap Terbitlah Terang, Armijn Pane; 1972)
Momen penting hidup Kartini berlanjut pada bulan Januari 1904, Kartini membuka sekolah di rumah Bupati Rembang. Sekolah itu diberi nama Sekolah Gadis, dan mendidik anak-anak perempuan bumiputera. Melalui Sekolah Gadis, Kartini mengejawantahkan kepeduliannya dalam usaha mencerdaskan kaum bumiputera serta kaum perempuan. Dalam sekolahnya, Kartini tidak memandang tingkat dan derajat keturunan seseorang, apakah bangsawan atau rakyat biasa. Semua tingkat dan derajat dianggap mempunyai hak yang sama dalam segala hal. Kartini juga memiliki keyakinan bahwa kecerdasan rakyat untuk berpikir tidak akan maju apabila kaum perempuan mengalami ketertinggalan.
Dalam mengajar, Kartini dibantu oleh kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah. Kegiatan pengajaran dilakukan di pendopo rumahnya. Meskipun sangat sederhana, Kartini sangat senang dapat memberikan pengajaran kepada perempuan-perempuan bumiputera yang tidak mungkin bisa masuk sekolah Belanda. Bersama adik-adiknya Kartini mengejar cita-citanya untuk memperjuangkan nasib kaumnya ke arah yang lebih baik. Usaha Kartini ini disambut baik oleh kaum perempuan Jepara.
Pada suratnya tanggal 27 Oktober 1902 kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis :
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara, maafkan kami. Apakah kami. Apakah Ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa dibalik yang indah dalam masyarakat Eropa Ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan”
Kegelisahan Kartini tersebut menyangkut dengan pemerintahan kolonial yang menyebabkan kemiskinan, kesengsaraan, dan kebodohan yang menyelimuti sebagian rakyat bumiputera. Hanya sebagian kecil dari bumiputera, yaitu kaum bangsawan yang menikmati priviledge untuk memperoleh penghormatan: jabatan, gaji cukup, karir, penghormatan, fasilitas sosial, serta pendidikan. Anggota kaum bangsawan itulah yang secara ekslusif dan selektif menerima manfaat Politik Etis.
Pada tahun 1900 pemerintah kolonial menerapkan Politik Etis. Suatu keutusan yang merupakan hasil dari desakan tokoh-tokoh humanis dan sosialis dari negeri Belanda. Kebijakan pemerintah kolonial yang menerapkan Politik Etis, membuka kesempatan pada anak-anak bumiputera yang berdarah biru (baca: bangsawan) serta memiliki kerabat yang bekerja pada perusahaan Belanda, untuk dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Hidup Kartini di dunia fana tidak berlangsung lama. Anak pertama sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadiningrat, lahir pada 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, pada 17 September 1904 Kartni meninggal pada usia 25 tahun. Jasad Kartini lalu dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang.
Suara dan perjuangan Kartini semakin nyaring terdengar setelah kematiannya. Perjuangan Kartini menginspirasi setidaknya dalam 3 bidang, yaitu pendidikan, emansipasi, dan nasionalisme.
Dalam bidang pendidikan, setelah Sekolah Gadis, perjuangan pendidikan Kartini dilanjutkan oleh saudara-saudaranya, juga didukung oleh rekan-rekan Belanda yang memiliki pengaruh. Upaya Kartini menyelenggarakan sekolah-sekolah untuk perempuan ditindaklanjuti unsur pemerintah kolonial Belanda dengan membuka sekolah wanita. Van Deventer mendirikan semacam yayasan untuk menyelenggarakan sekolah wanita di Semarang pada tahun 1912. Lalu kemudian berlanjut ke Surabaya, Yogyakarta, Madiun, dan Cirebon dengan nama Sekolah Kartini.
Dalam bidang emansipasi, Kartini membawa nuansa yang berbeda pada kehidupan perempuan Jawa. Nasib kaum perempuan yang dianggap tidak lebih dari perabot lelaki, serta sebatas mengurus dan mengatur rumah tangga saja, kemudian mulai dipikirkan oleh Kartini. Ia hadir sebagai perintis kesetaraan hak perempuan. Bahwa keterlibatan perempuan ditahun-tahun setelah kematian Kartini mulai muncul dalam ranah sosial-politik, itu merupakan gerak zaman. Namun Kartini lebih fokus pada persamaan hak antara lelaki dan perempuan, terutama hak memperoleh pendidikan.
Dalam bidang nasionalisme, Kartini menunjukkan rasa cinta terhadap bangsanya secara tulus. Sejak kecil, Kartini menyukai bahasa, sastra, dan kesenian bangsanya. Cita-cita Kartini pada zamannya sering dianggap melewati batas-batas sekat status sosial. Terlahir sebagai bangsawan, ia seperti hendak memberikan keistimewaan yang ada padanya kepada rakyat, khususnya rakyat perempuan.
Pada perkembangan selanjutnya, ide-ide Kartini telah mengilhami beberapa tokoh pergerakan Indonesia, seperti Tirto Adhi Soeryo. Tirto kemudian mendirikan surat kabar milik bumiputera yang pertama : Medan Prijaji, lalu menjadi tokoh yang berperan dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor pada 1912. Sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer juga membuat novel Panggil Aku Kartini Saja yang banyak menarasikan tokoh Kartini, yang lebih senang dipanggil Kartini ketimbang memakai embel-embel Raden Ajeng.
Presiden Soekaro mengeluarkan Kepres RI no 108 tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Tanggal kelahiran Kartini juga selalu diperingati sebagai hari Kartini. Ia memang simbol perempuan priyayi-Jawa yang tidak hanya cerdas, namun juga tercerahkan.
Ahmad Muttaqin