Dewantara – Sudah berturut-turut, remaja di Belanda memuncaki tangga teratas diantara negara OECD (Organisation for Economic Cooperational Development) sebagai remaja yang paling berbahagia sejagat. Apakah ada kaitannya dengan legalisasi ganja?
Tentu saja bukan. Resep bahagia tersebut terbentuk dari keharmonisan hubungan antar keluarga, sekolah dan lingkungan sosial. Sebuah resep yang sebenarnya sudah diwacanakan sejak lama oleh Ki Hadjar Dewantara lewat Tri Pusat Pendidikan dan secara apik dipraktekkan di negeri kincir Angin itu.
Menurut studi yang dilakukan Dr. Simone De Ross, seperti dimuat di The Guardian (17/06/18), sejak 2013 hingga kini para remaja Belanda menempati tabel teratas dari kepuasan hidup. Apa yang membuat mereka puas? Apakah tidak ada masalah dalam hidup remaja mereka? Bullying mungkin?
Simone menjelaskan, remaja Belanda telah secara aktif dan positif berhubungan dengan lingkungan sosial mereka. “Mereka memiliki lingkungan yang mendukung perkembangannya di rumah, di sekolah dan bersama teman-teman mereka”, lanjut Simone.
Kenyataan yang terjadi adalah orang tua di Belanda sangat mendukung mereka dan tidak ada pengawasan berlebihan, begitu juga iklim egalitarian di sekolah bagaimana guru memahami murid dan murid mempercayai guru.
Sangat kontras jika dibandingkan negara-negara yang dianggap maju seperti Inggris saat anak-anak remajanya diliputi kecemasan dan depresi. Begitu pula dengan Amerika Serikat dimana pembunuhan massal dan senjata api jadi bencana nasional. Atau Jepang yang tingkat bunuh diri siswa tertinggi di Asia.
Masih terkait dengan studi Simone, banyak dari anak dan remaja Belanda menempati posisi lima teratas dalam hal mendapatkan sarapan yang cukup, menonton lebih dari dua jam per hari saat hari sekolah, memiliki teman sekelas yang baik dan ringan tangan.
Mereka pun ada di posisi lima terbawah jika berkaitan dengan kegemukan, seks remaja dibawah umur, dan tekanan di sekolah. Bahkan hampir separuh siswa di Belanda tak pernah mengalami perundungan dan mudah terbuka pada orang tua.
Tentu saja, fakta ini berkaitan erat dengan situasi negeri yang adem ayem. Pengangguran minim, rata-rata keluarga diatas standar hidup layak dari World Health Organisation (WHO), serta angka kemiskinan rendah dan perekonomian yang stabil.
Kantor Statistik Belanda melakukan studi dari 4,000 orang dengan rentang usia 12-25 tahun memiliki skor kebahagiaan 8,4 dari total nilai 10. Laporan PISA (lembaga program penilaian OECD) mengumumkan Belanda bersama dengan Finlandia dan Swiss sebagai “negara yang berhasil menggabungkan hasil pembelajaran yang baik dengan kepuasan pelajar yang tinggi”.
Direktur World Database of Happiness, Prof. Ruut Veenhoven, meyakini bahwa anak muda akan semakin bahagia jika terlepas dari target “menjadi baik” dari orang tua maupun guru. Para remaja di Belanda dan Denmark juga terbukti paling fleksibel sekaligus fokus dalam mengembangkan diri ketimbang mereka yang diprioritaskan pada kepatuhan. “Anak yang bahagia kadang bukanlah anak yang sangat patuh”.
Meski di awal paragraf tulisan ini menyinggung legalisasi ganja, namun ada tren penurunan penggunaan ganja dan alkohol pada remaja. Mereka menganggap alkoholik dan mabuk-mabukan sebagai “perilaku beresiko” yang mengancam kebahagiaan mereka.
Dani, seorang anak blasteran ibu Indonesia dan bapak Polandia menyebutkan bullying juga ada di Belanda. “Tapi jika seorang ingin merundungku, aku acuh saja. Aku punya teman-teman yang selalu bersama dan mereka selalu mendukungku. Aku tak punya imaji sosial dan berharap semua orang akan suka padaku, itu sungguh konyol”.
Saffron James, seorang anak yang orangtuanya bercerai selalu mengandalkan teman-temannya. “Aku dapat menginap di rumah temanku. Jika ada kesulitan pelajaran, dan ada teman yang pintar di pelajaran itu, pasti dia siap sedia membantuku. Itu membuatku tenang”.
Studi Health Behaviour in School-aged Children (HBSC) melaporkan 86 persen anak sekolah merasa teman kelasnya sangat baik dan suka membantu.
Sistem sekolah Belanda –hampir seluruhnya didanai pemerintah- menyelenggarakan ujian nasional saat usia anak mencapai 12 dan setelahnya ujian tiga level kelas menengah (setara SMP). Selalu ada anak yang lompat kelas dan tinggal kelas setahun. Namun kekhawatiran tentang penurunan standar akademis anak dan level stres anak tidak melonjak akibat suasana kelas yang suportif.
Yara Agterhof, 17 tahun, telah mengubah mata pelajarannya karena kurang nyaman. “Awalnya aku lompat kelas, mengampu fisika, biologi dan kimia,” katanya. Namun setelah masuk kelas, semua pelajaran tersebut terasa sangat sukar.
Ia memutuskan kembali setahun terhadap mata pelajaran tersebut. Sekarang ia sangat bahagia dan tak merasa tertinggal selama satu tahun dan orangtuanya pun senang.
Jacquelline Boerefijn, guru biologi di sekolah Groen van Printerelyceum, Rotterdam, mengatakan tentang peraturan di Belanda bahwa jika ditemukan anak murid yang dikeluarkan, maka sebelumnya, pihak sekolah yang bersangkutan harus mencarikan sekolah lain untuk anak tersebut.

Jacquelline yang mengembangkan kelas kebahagiaan juga memberikan pelajaran psikologi positif bagi pengajar. Ia khawatir pada beban anak murid terkait pencapaian akademis.
“Tolong jangan naikkan standar akademis, karena kami telah memiliki anak-anak yang bahagia”, pungkasnya. (Hendro/editor)