Sekitar seminggu lalu saya membaca informasi pementasan teater keliling di Galeri Indonesia Kaya (GIK), berjudul Takdir Cinta Pangeran Diponegoro. Ada petunjuk untuk registrasi online bagi “peminat seni” -sebutan bagi pengunjung GIK- yang ingin menyaksikan secara gratis pertunjukan tersebut. 1 orang maksimal dapat mendaftar untuk 2 reservasi.
Beberapa jam setelah saya mendaftar, muncul notifikasi bahwa registrasi online sudah ditutup. Bagi peminat yang ingin menyaksikan tanpa registrasi online, dapat datang sejam sebelum pertunjukan dimulai. Saya merasa beruntung masih sempat registrasi. Saat itu, saya berpikir mungkin kuota peminat sudah penuh sehingga cepat sekali ditutup. Hal itu memang dibuktikan saat saya menjejakan kaki di lantai 8 West Mall Grand Indonesia sekitar pukul 14.45 atau lima belas menit sebelum jadwal pentas dimulai. Di luar pintu masuk GIK, antrian peminat seni yang belum registrasi online terlihat cukup panjang.
Saya langsung menuju meja konfirmasi begitu petugas keamanan menginformasikan bahwa bagi yang sudah registrasi online tidak perlu ikut mengantri.
Ekspektasi saya begitu besar melihat antrian panjang tersebut. Saya segera menuju pintu ruang pertunjukan yang masih ditutup. Security masih bersiap menjaga di depan pintu sampai mendekati waktu pentas.
Lima menit sebelum pukul 3 sore, security meminta para peminat seni membentuk 2 barisan sebelum masuk. Lagi-lagi didalam GIK antrian cukup panjang. Saya yang sudah meniatkan untuk memilih duduk ditengah terpaksa menyerah karena tempat duduk tengah sudah terisi oleh peminat seni yang berbaris didepan. Sisi sebelah kiri saya pilih untuk duduk menyaksikan pertunjukan itu.
Para peminat seni antri sebelum masuk ruang pertunjukan (Dewantara-DC)
Peminat seni yang hadir menyaksikan Takdir Cinta Pangeran Diponegoro (Dewantara-DC)
Sebelum pentas dimulai, layar putih didepan kami lebih dulu menayangkan video pendek tentang ragam budaya dan kekayaan Indonesia.
Setelah video berakhir pemandu acara memberikan tanda bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Sebagaimana pengalaman saya sebelumnya mengunjungi GIK, menjelang pertunjukan dimulai para hadirin diminta berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dipandu oleh dirigen dalam sebuah video dihadapan kami. Jujur saja saya merinding setiap kali menyanyikannya.
Dari kursi sisi kiri, tampak dirigen pada layar memandu peminat seni menyanyikan Indonesia Raya (Dewantara – DC)
Sekitar pukul 3 sore lebih 15 menit pertunjukan dimulai. Diawali dengan pembacaan puisi Diponegoro karya Chairil Anwar.
Diponegoro
Di masa pembangunan ini…
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api..
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali….
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati…
MAJU…
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu….
Sekali berarti
Sudah itu mati….
MAJU…
Bagimu Negeri
Menyediakan api….
Punah di atas menghamba…
Binasa di atas ditindas…
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai…
Jika hidup harus merasai…
Maju…
Serbu…
Serang…
Terjang…
Pertunjukan diawali dengan pembacaan puisi Diponegoro karya Chairil Anwar (Dewantara-DC)
Babak dimulai dengan kemunculan Diponegoro bersama dua pengawalnya yang sedang membicarakan tentang perempuan dan pernikahan. Ditengah obrolan kedua pengawal bingung sebab tiba-tiba Diponegoro tak menghiraukan mereka. Ia terpesona dengan perempuan yang berada disudut berlawanan yang digambarkan sebagai Raden Ayu Maduretno.
Penampilan sosok Diponegoro dengan baju beskap, kain batik, serta blangkon diinterpretasikan sebagai pakaian bangsawan jawa, sedangkan 2 pengawalnya berpakaian lurik, celana, ikat kepala, dan tanpa alas kaki.
Sosok Raden Ayu Maduretno maupun perempuan Jawa ditampilkan dalam kebaya dan kain batik, tanpa sanggul, kecuali Ibu Tiri Diponegoro. Ada unsur tradisi dan modern yang dipadukan oleh Bapak Rudolf Puspa, sutradara pementasan itu, -yang saya baca pada satu artikel sekaligus sebagai pendiri teater keliling.
Setelah diselingi nyanyian, babak berikutnya menampilkan sosok adik tiri Diponegoro, Sultan Hamengkubowono IV yang ditampilkan belum cukup cakap memimpin kerajaan dalam usia yang masih belia, bersamanya juga Ibu tiri dan Patih Danureja, tokoh yang memberi pengaruh dalam pemerintahan kerajaan.
Diponegoro memprotes kebijakan adiknya yang menetapkan pajak kepada rakyat. Ia menyerang Patih Danureja karena membiarkan hal itu terjadi.
Sang Ibu tiri membela adiknya dan menyinggung soal penolakan Diponegoro terhadap keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk melanjutkan kepemimpinan sebagai raja.
Patih Danureja merasa dendam dengan sikap Diponegoro kepadanya. Reaksi murka ditampilkannya saat Ibu tiri Diponegoro memintanya mengatasi Diponegoro yang lebih memilih kehidupan diluar kerajaan.
Pada babak ini, jika hadirin yang hadir bukan pembaca kisah Diponegoro atau sejarah perang jawa, maka mungkin akan dibuat bingung dengan kemunculan tokoh-tokoh diatas panggung. Booklet yang tersedia di meja konfirmasi hanya berisi jadwal pentas GIK dan penjelasan singkat tentang pementasan, belum cukup memberikan keterangan tentang pemain dan tokoh yang diperankannya. Hadirin baru dapat mengetahuinya saat akhir pertunjukan. Ketika pemandu acara memanggil satu persatu para pemain keatas panggung lalu menyebutkan peran masing-masing pemainnya.
Pangeran Diponegoro mengagumi perempuan dihadapanya (Dewantara-DC)Raden Ayu Maduretno ingin mengikuti suaminya berperang (Dewantara-DC)
Sebetulnya, saya pun sempat dibuat bingung dengan tampilan babak-babak selanjutnya dimana alur ceritanya seolah melompat-lompat. Saya dibuat menduga-duga pada salahsatu babak, yaitu ketika kemunculan 2 orang yang beradu keahlian bela diri. Keduanya ditampilkan tidak menang maupun kalah. Sama-sama menderita. Saat itu saya menduga adegan yang ditampilkan sebagai bentuk perang saudara di tanah Jawa.
Sultan Hamengkubuwono IV, Ibu Tiri Diponegoro, dan Patih Danurejo (Dewantara-DC)Perang saudara di tanah Jawa (Dewantara-DC)
Kebingungan saya baru dapat tercerahkan ketika dipenghujung pemandu acara menyampaikan bahwa pertunjukan tersebut sebagai showcase dari pertunjukan teater sesungguhnya dengan judul sama, yang rencananya akan ditampilkan oleh Teater Keliling di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada tanggal 17 dan 18 Agustus 2018 nanti.
Seluruh Tim Pertunjukan Takdir Cinta Pangeran Diponegoro (Dewantara – DC)
Bocoran dari pemandu acara tentang pertunjukan di GKJ nanti dan durasi pementasan yang kurang dari 1 jam, membuat saya maklum jika pertunjukan teater sore itu terkesan dipadatkan.
“Aku jadi penasaran ingin lihat pertunjukan di GKJ, mbak” komentar seorang kawan yang bersama saya menyaksikan pementasan singkat tersebut.
Walaupun sempat bingung, setidaknya kawan saya itu sudah menyatakan minatnya untuk menonton pertunjukan sesungguhnya. Pastinya dengan durasi pentas yang lebih panjang. (DC)