Di Indonesia, nama Eduard Douwes Dekker atau Multatuli cukup familiar—jika tak disebut terkenal.
Meski ia seorang warga negara Belanda—negara yang menjajah Indonesia, tapi ingatan kolektif masyarakat Indonesia tak sedikit pun menaruh dendam kepadanya. Justru sebaliknya, Douwes Dekker dianggap seperti malaikat yang menyampaikan wahyu tentang kebenaran dan kejujuran bagi manusia. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer menyatakan, apa yang Douwes Dekker tulis telah membangkitkan perlawanan terhadap kolonialisme.
Hal itu bermula saat ia menulis sebuah roman berjudul “Max Havelaar” pada 1860. Empat tahun sebelumnya, ia bekerja sebagai seorang asisten Residen di Lebak, Banten. Dalam novel tersebut, ia mengungkapkan penderitaan rakyat Banten yang tidak hanya disebabkan karena penjajahan, tetapi juga karena kesewenang-wenangan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara, dan Demang Pajangkujang Raden Wira Kusuma.
Petani dibebani pajak tinggi. Mereka juga merampas ternak dan hasil bumi milik rakyat seenaknya. Para penguasa yang membuat hukum berdasarkan aturan mereka sendiri. Para birokrat pribumi, adalah kepanjangan tangan kekuasaan kolonial di Banten. Lewat para penguasa pribumi pemerintah Belanda menjalankan kekuasaan mereka di tanah jajahan.
Tentu saja novel ini sangat menggentarkan negeri Belanda ketika kali pertama diterbitkan. Bagaimana bisa seorang Belanda, yang hidup dari tanah jajahan tapi mengungkap keburukan sistem kolonial yang mereka berlakukan? Semua berdecak kagum pada keberanian roman Douwes Dekker.
Akan tetapi, tidak bagi Rub Nieuwenhuys dan segilintir kritikus sastra lainnya di negeri Belanda. Dalam buku “Mitos dari Lebak”,—buku yang kali pertama terbit menjelang 100 tahun Max Havelaar– Rob setidaknya mengkritisi dua hal dari buku Max Havelaar yaitu ketidaktahuan Douwes Dekker tentang aspek hukum, sosiologis, dan antropologis di Banten dan niat Douwes Dekker menulis Max Havelaar.
Douwes Dekker memang menunjukkan bahwa praktik kolonialisme di Indonesia justru memanfaatkan struktur lokal yang ada—feodalisme. Hal ini justru sangat jauh berbeda dalam sejarah perkembangan masyarakat Eropa.
Ketika itu, revolusi Prancis yang menggagas liberalisme, meruntuhkan feodalisme. Sedangkan, di Indonesia feodalisme dipelihara untuk terus melangsungkan penjajahan atas nama ekonomi liberal atau kolonialisme yang dipraktikkan Belanda. Akibatnya, Indonesia mengalami dualisme ketertindasan yakni kolonialisme dan feodalisme (Soekarno: 1947).
Akan tetapi, Rob berargumen bahwa dalam ada aspek sosiologis dan antropologis hukum adat yang tak dimengerti oleh Douwes Dekker. Dalam masyarakat Jawa—terutama Banten, masyarakat memiliki rasa hormat yang begitu tinggi kepada pemimpin lokal. Hal ini tercermin dalam pemberian upeti.
Upeti yang diberikan masyakat kepada Bupati merupakan rasa terima kasih dan syukur. Contoh fatalnya, ketika masyarakat memberikan upeti untuk acara adat berupa beberapa ekor kerbau kepada bupati, Douwes Dekker menulis laporan bahwa upeti tersebut merupakan sebuah perintah paksa dari Bupati Lebak. Ia memerintahkan penyelidikan terkait penyalahgunaan kekuasaan, tapi hasilnya gagal dan tak terbukti (hlm.82-85)
Ketidaktahuan Douwes Dekker tentang hukum yang berlaku di Banten sebenarnya akibat dari sifatnya yang congkak. Tak seperti asisten residen sebelumnya yang membangun dan melakukan komunikasi baik dengan Bupati untuk mengetahui kondisi rakyatnya dari berbagai macam aspek kehidupan.
Menurut Rob, Douwes Dekker memiliki perasaan bahwa dirinya sebagai manusia berkulit putih kedudukannya lebih tinggi dari pribumi (hlm.110). Maka, sudah seharusnya bupati itu yang harus mengujungi dirinya. Sedangkan, bupati merasa lancang atau tak sopan apabila dirinya harus langsung menemui asisten residen tanpa mendapatkan undangan terlebih dahulu.
Hal ini yang kemudian, menurut Rob, membuat Douwes Dekker tak mau belajar tentang kebiasaan masyarakat Banten. Bahkan, ketika Bupati Lebak disebut hidup dalam kemewahan dan gaji besar, tapi nyatanya gaji bupati di daerah Banten merupakan yang terendah di Pulau Jawa.
Pada aspek niat Douwes Dekker menulis Max Havelaar, Rob meyakini bahwa Douwes Dekker ingin melakukan panjat sosial. Sebagai pengagum Napoleon Bonaparte yang menginkan kebebasan, Douwes Dekker dalam catatan hariannya, malah merasa senang diitempatkan di daerah miskin. Dengan itu, ia akan menuliskan sebuah kisah tentang mulianya dirinya melakukan penyadaran dan pembebasan (hlm.104).
Tak hanya itu, Douwes Dekker bahkan tak pernah sekalipun menyatakan menentang praktik kolonialisme dan tanam paksa yang dilakukan Belanda. Ia hanya mengkritik dan ingin Bupati Lebak diganti dengan orang lain. Jika ia mempercayai bahwa praktik yang dilakukan Bupati Lebak adalah bagian sebuah kesalahan dari sistem kolonialisme, maka sepatutnya ia bukan hanya ingin menkritik bupati, melainkan juga sistemnya (hlm.117) Akan tetapi, pernyataan tersebut tak sekali pun diucapkan oleh Douwes Dekker.
Oleh sebab itu, Rob menyatakan ada keleliruan bila masyarakat Indonesia malah memitoskan Max Havelaar. Sebab, pada kenyataannya, Max Havelaar tak pernah memiliki niat untuk membebaskan masyarakat Indonesia.
Mitos dan Kekuatannya
Meski Rob membongkar sisi lain dari Novel Max Havelaar, Rob tak bisa menafikkan pengaruh novel tersebut bagi masyarakat Indonesia. Dalam perjalanan sejarah umat manusia, mitos sangat diperlukan. Yuval Noah Harari (2014), mitos sangat diperlukan manusia untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan bahkan menggerakan sebuah perubahan.
Dengan mitos, manusia merasa ada sesuatu hal yang diyakini dan kemudian diperjuangkan. Pada konteks Novel Max Havelaar, Douwes Dekker dapat dikatakan—jika benar kisah Max Havelar hanya mitos— berhasil membuat mitos bahwa praktik kolonialisme dalam bentuk apapun tak dibenarkan.
Memang Max Havelaar tak mengajarkan bagaimana masyarakat harus melawan, karena ia bukan sebuah diktat untuk melawan. Akan tetapi, Max Havelaar mengejewantahkan masalah yang ada dan kita sendiri yang harus merumuskan keadaan.
Sebab, dalam sebuah roman, siapa peduli mengenai hal yang dikiritisi oleh Rob. Asalkan ia dianggap mewakili apa yang dirasakan dan dialami oleh suatu masyarakat, ia akan terus dipercayai. Rob mungkin lupa atau tidak tahu, sejarah digerakkan tidak hanya oleh aspek pertentangan kelas, tetapi juga pengakuan akan harga diri dan emosi kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Douwes Dekker sudah berhasil menyentuh masyarakat Indonesia.
Buktinya, kini, hampir 160 tahun sejak Max Havelaar kali pertama diterbitkan, kondisi Banten masih tak banyak berubah. Oligarki politik dan korupsi masih sangat bercokol kuat di Banten. Sedangkan, anak-anak yang ingin bersekolah harus mempertaruhkan nyawanya dengan menyebrang pada seutas tali.
Judul Buku : Mitos dari Lebak
Penulis : Rob Nieuwenhuys
Penerjemah : Sitor Situmorang
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun Terbit : September 2019
Tebal : xlii + 118 halaman
ISBN : 978-623-7357-03-2