Jika Anda tersisihkan di kelompok hanya karena bentuk fisik, selera humor, karakter, hobi bahkan cuma sekadar cara berbicara, maka kaum Juggalo punya tempat untuk Anda.
Juggalo adalah sebuah sub-kultur Amerika yang baru terdengar lima tahun terakhir. Saking dipandang aneh, FBI Amerika sempat melarang pertemuan massal memperingati dua dekade perkumpulan mereka. Ya, tepat 2019 sudah dua puluh tahun.
Baiklah daripada melanglang terlalu jauh, mari lebih dahulu bicara film Family keluaran Maret 2019 ini. Penulis sedari awal kepincut dengan poster filmnya: Seorang eksekutif perempuan muda dengan anak remaja yang (mungkin) dalam fase memberontak dengan wajah dilumuri cat bergambar badut.
Oke, oke. Kita tidak bicara film Joker (2019) yang terlalu asyik masyuk bahas gejala gangguan kejiwaan. Ini adalah murni anak remaja didandani wajah badut. Karena keluaran film ini jelas setahun sebelum Joker rilis.
Penampilan Kate (Taylor Schilling) dalam adegan pembuka cukup unik. Pemeran utama perempuan ini digambarkan gila kerja, tak peduli lingkungan sosial apalagi keluarga. Tapi yang berkesan adalah bagaimana ia digambarkan seolah tidak peduli perasaan orang lain. Bagaimana ia memecat seseorang seenaknya, cerita ia dengan lantangnya merebut posisi manajer tanpa ragu terhadap rekan kerjanya. Pokoknya figur menyebalkan yang tak peduli sekitar yang penting sukses dikejar.
Tak berapa lama, kakaknya Joe (Eric Edelstein) menelpon. Ia hendak pergi bersama istrinya merawat ibu mertuanya. Anaknya, Maddie (Bryn Vale) dititipkan pada Kate. Joe awalnya pun ragu akan Kate, karena pada dasarnya Kate tak peduli pada apapun selain pekerjaannya.
Disinyalir film ini akan hadir dengan rumus benci-tapi-cinta terhadap anggota keluarga. Karena label komedi keluarga yang disematkan salah satu aplikasi layanan menonton berbayar. Prediksi alur cerita pasti tak jauh-jauh dari situ. Sepertinya…
Maddie dikisahkan adalah siswa introvert. Suka bermain sendiri. Sering dirisak. Tak jarang dirundung teman sekolahnya. Bahkan orang tuanya pun tak tahu apa keinginan dia. Lalu orang yang tak peduli keluarga seperti bibinya Kate datang mengasuhnya.
Kate coba memasuki dunia Maddie yang tampak aneh baginya. Ia tak terima jika Maddie berturut-turut jadi korban perundungan. Rasa empati yang muncul terlambat ini bukan tanpa resiko.
Di kantor, bawahannya, Erin (Jessie Enis) berkinerja jauh diatas Kate. Erin sudah mulai bisa menggantikan posisi Kate. Seolah posisinya direbut, Kate pun sering salah langkah. Tambah lagi Maddie sudah mulai bergaul dengan anak laki-laki yang tergila-gila pada Juggalo.
Maddie sempat berikrar pada bibinya Kate untuk melewatkan pesta dansa. Ia tahu pada akhirnya ia hanya jadi lelucon satu ruangan. Kate mengingkarinya, ditambah masalah di kantor, hubungan keduanya renggang.
Pada akhir film memang Kate akhirnya menemukan apa yang penting baginya. Keluarga. Ayahnya yang baru diketahui masuk rehabilitasi alkohol dan narkoba membuat Kate sadar. Kakaknya yang dulu ia lupakan kini coba dieratkan dan bermain dengan keponakannya tercinta, Maddie.
Sutradara Laura Steinel ini coba memprofilkan Kate sebagai sosok perempuan eksekutif kelas atas New Jersey dan menabrakkan dengan profil keluarga (kakaknya) yang tinggal di pinggiran. Bisa saja ditebak konflik seputar kultur dan kebiasaan akan lebih banyak muncul. Ternyata tidak juga. Coba saja tambahkan sub-kultur baru fenomena kaum Hippie 1960-an yang bangkit lagi dengan sebutan kaum Juggalo. Lalu bayangkan keponakan Anda yang berusia 11 tahun bermain bersama rombongan sebayanya datang ke festival Juggalo.
Juggalo: Sub-kultur kaum tersisih
Seperti dijelaskan awal paragraf, ada kata yang menarik: Juggalo. Sebuah tren yang muncul sekitar akhir 1990-an yang muncul melalui pengaruh penggemar musik. Pada mulanya adalah grup hip hop Insane Clown Posse yang datang dengan lirik kasar dan berkisar pembunuhan. Label rekaman banyak yang menolak dan polisi mencekal. Berlatar kulit putih dengan hip hop, FBI mencirikan mereka seolah Neo Nazi baru. Duo ini punya ciri khas dengan pulasan wajah badut setiap manggung. Dengan aksi semprot minuman bersoda bak pembalap menumpahkan sampanye.
Lambat laun penggemar makin banyak. Mereka yang dianggap aneh,tersisih dan marah merasa terwakili dengan musik mereka. Selalu ada keanehan dalam setiap diri manusia, setiap individu adalah unik. Dari penggemar menjadi gerakan. Hingga tahun ini sudah ada ribuan penggemar Insane Clown Posse yang menamakan diri The Juggalo. Dengan lolongan serigala dan pulasan wajah badut menjadi salam perkenalan mereka. Saking banyaknya fanatik Juggalo, kini keanggotaan tidak sembarang.
Kalau Anda menyebut Woodstock dan Loolapalooza sebagai festival musik tergila di Amerika, maka masukkan Gathering of the Juggalos dalam daftar festival musik terekstrem di dunia. Selain banyak alkohol, erotis dan hal-hal negatif lain, tapi para Juggalo menganggap mereka adalah sebuah keluarga.
Sub-kultur masyarakat yang lahir dari musik memang banyak. Contohlah punk oleh band Sex Pistols yang lahir dari pertentangan kelas dan anti kemapanan. Reggae yang dipopulerkan Bob Marley dengan nuansa santai dan perdamaian. Hingga jazz oleh kaum kulit hitam sebagai pelepasan ekspresi dari kejamnya rasisme. Maka inilah kaum Juggalo, yang bergaya hidup Hippie 1960-an, namun saling menjaga satu sama lain.
Persinggungan antara film ini dengan kaum Juggalo sangat kuat. Di saat Maddie hilang ditengah festival dan Kate mencarinya, sontak semua pengunjung festival membantu mencari.
“Lihat dia sedang mencari seorang anak. Dalam festival ini tidak boleh ada satupun yang kehilangan anak,” sahut fans Juggalo.
Jangan-jangan sang sutradara ini kaum Juggalo juga. Hati-hati ama FBI, mbak…