6
“Boy ketemuan yuk nanti malam, sumpahhh kamu harus datang. Bosan sekali aku hari ini. Ada banyak yang mesti aku ceritakan sama kamu,” aku menelpon Boy ingin berbagi cerita insiden tadi pagi
“Hahahhaa kenapa sihh Ci, kenapa penting banget kayaknya ?” “Kamu mesti datang pokoknya!” “Oke, oke dimana ?”
“Dimana ya enaknya?”
“Hmm nonton saja bagaimana menurut kamu ?”
“Hmm nonton apa ya, liat aja nanti, yang bagus apa. Oke Aci ?”
“Okelah kalau begitu.”
####
Boy berpakaian lebih rapi dari sebelumnya. Seperti orang kantor yang sedang berangkat bekerja. Celana bahan hitam lengkap dengan jas hitam serta sepatu pantofel mengkilapnya. Rambutnya disisir rapi ke kanan dan disisahkan sedikit ke kiri. Dari kejauhan, aku melihatnya celingak-celinguk menungguku. Aku sengaja memutar arah supaya tidak terlihat olehnya dan sedikit memberikan kejutan.
“Woi, rapi amat,” sapaku mengagetkan Boy.
“Wuu jam berapa nih Ci, janjinya jam 18.00 teng, ini 18.30,” Boy menggerutu.
“Iyaa maaf Pak Eksekutif, kan aku naiknya angkutan umum. Tidak seperti Bapak yang naik mobil sedan yang mengkilat, pakai jas ke kantor dan sepatunya berkilau,” aku meledek penampilannya yang dari pertemuan pertama sampai ketiga ini semakin rapi.
“Iya ini kan karena habis pulang kerja makanya pakai baju yang rapi begini.”
“Katanya ga suka yang rapi-rapi makanya tidak mau tinggal di Singapura.”
“Ya kamu lihatnya selalu kulitnya, bukan isinya. Maksudku kerapian itu adalah kerapian berpikir, nah kalau aku sebaliknya lebih suka bebas berpikir apa saja, hehehe,” kilah Boy. Dan selalu saja ia menemukan alasan-alasan untuk mendukung argumentasinya.
“Selalu ada alasan kamu Boy.”
“Sudah, sudah jadi mau nonton apa nih kita. Film action ya. Tom Cruise keren tuh ceritanya ?”
“Ah bosan ah action hollywood, selalu datar ceritanya. Bagaimana kalau film Bang Deddy aja tuh lucu, keren, realitas masyarakat hehehee?”
“Ah kamu Ci, film Indonesia nontonnya cukup di televisi saja atau beli CD bajakannya. Cukup itu menontonnya.”
“Sembarangan kamu. Bisa diadu tuh kualitas filmnya Indonesia sama Hollywood.”
“Hahaha iya iya bercanda, nyolot amat kalau ada yang hina film Indonesia ?” Boy puas meledekku setelah menunggu lama.
“Wuh aku beri juga nih kamu,”aku belagak memamerkan otot lenganku seakan menakuti Boy seperti pendekar silat.
“Hahahaha,” Boy malah ketawa girang melihatku. “Baiklah wartawan betina, jadi kamu mau nonton apa ?”
“Ya itu filmnya bang Deddy saja. Bagaimana menurut kamu?”
“Yasudah kalau begituuu.”
Boy lalu mengantri sejenak di loket tiket. Sementara aku menyisir satu persatu box film yang terjejer rapi di dinding-dinding bioskop. Sudah mulai banyak tampaknya film nasional yang masuk ke bioskop. Tak hanya genre horror plus, tapi film action dan science fiction juga mulai banyak. Ikut bahagia sepertinya aku melihat perkembangan film Indonesia.
“Nih tiketnya,” Boy mengagetkanku yang lagi asyik menikmati perkembangan film Indonesia.
“Keren-keren ya film Indonesia sekarang!”
“Iya itu berkat aku semua.”
“Hah darimana perannya kamu Boy ? Nulis skenario aja ga pernah.”
“Iyalah gara-gara orang sepertiku ini industri film Indonesia menjadi maju.”
“Hah nonton film Indonesia juga karena ada aku. Kalau tidak, kamu sudah lari ke film Hollywood. Atau kalau ga sudah ke Bollywood pahee pahee.”
“Hahhahaaha serius amatt Neng. Jadi ada apa kamu mengajak ketemu aku malam ini ?”
“Wah iya Aku hampir lupa mau cerita apa ya, Boy.”
“sttttt. Bentar sebelum cerita kita duduk di bangku pojok itu saja. Enak buat cerita disana !” Setelah membeli popcorn dan minuman, kamipun duduk sambil menunggu pintu bioskop dibuka.
“Wah gila Boy, malu, malu banget aku tadi ketika liputan di KPK!” “Bentar, bentar santai ceritanya. Malam masih panjang.”
“Gila nih, gara-gara redaktur aku sih. Kamu tau kan pengacara sangar Khoirul itu?”
“Hmmm iya tahu, kebetulan aku tadi liat di tv. Kayaknya dia lagi berantem sama wartawan. Jadi apa hubungannya ?”
“Nah itu dia, tadi kan aku pas liputan di KPK. Kamu tahu kan wartawan kalau lagi berjubel seperti itu. Ehhh redakturku telpon, terpaksalah aku angkat.”
“Terus?”
“Terus pas aku angkat, aku kan masih nyodorin alat rekamku ke Khoirul di tengah desak dan himpitan wartawan. Kesodoklah bibir si Khoirul.”
“Hhahahahha gila kamu Ci, muka orang disodok begitu. Hahahaha keterlaluan kamu!”
“Hai bentar belum selesai aku ceritanya !”
“Hhahahahaha kamu lagian hari pertama sudah nyodok orang hahahha keterlaluan kamu!”
“Aduh dengerin dulu belum selesai Boy .”
“Oke oke. Silahkan dilanjutkan Bu Wartawan, habisnya kamu lucu bangett sih.”
“Jadi terus dia marah gitu.”
“Perhatian-perhatian pintu teater lima sudah dibuka. Bagi anda yang memiliki karcis silahkan masuk !”suara petugas bioskop menghentikan obrolanku yang belum tuntas.
“Ya belum juga selesai ceritanya.”
“Yasudah nanti dilanjut saja habis nonton. Sekarang kita nonton dulu!”
Aku akhirnya terpaksa menurut Boy. Menunda ceritaku hingga film bioskop ini selesai. Kami sedikit beruntung masih mendapat kursi di tengah. Tidak terlalu ke depan dan belakang. Sehingga tidak perlu pusing menontonnya. Lima menit pertama aku masih liat Boy cengingisan menonton film Bang Deddy itu. Tapi menjelang pertengahan menit 10, tawanya sudah menghilang. Aku lihat ke sebelah ternyata dia sudah tertidur pulas. Aku tersenyum dalam hati melihat tingkah laku Boy.
Menonton hanya untuk tidur di dalam bioskop. Lima belas ribu memang cukup untuk tempat istirahat bagi pekerja-pekerja Ibu Kota melepas penat. Suara beberapa pemain film lamat-lamat juga sudah tak terdengar jelas di telingaku. Semakin lama semakin menghilang. Gambarnya pun perlahan menjadi buram hingga menghilang dalam tutupan mataku.
“Mba, Mba bangun Mba,” lamat-lamat aku mendengar seseorang memanggilku. Badanku seperti ditepuk-tepuk juga olehnya. Mataku yang masih lelah sedikit terbuka. Sesosok karyawan bioskop dengan pakaian hitamnya yang khas sudah berdiri di depanku.
“Bangun Mba, filmnya sudah selesai!”
“Hah maaf maaf Mba. Aku ketiduran pulas ya dari tadi?” aku liat Boy masih tertidur pulas di sebelahku.
“Boy bangun, bangun,” tak lama kemudian Boy pun tersadar sambil tertawa meringis.
“Aduh maaf ketiduran, kecapekan aku Ci.” “Ah alasan saja kamu. Sudah yuk pulang!”
“Ok Ci, tapi itu mata kamu kenapa merah, wajah juga bengep kayak orang tidur. Jangan bilang kamu juga tertidur ?”
“Hah, enggak, enggak.”
“Hahahhaa sama aja kamu ternyata. Kirain aku saja yang tertidur. Dasar!”
Kami berdua pun berjalan keluar ruangan sambil mengumpulkan ingatan pasca bangun dari tidur. Beberapa penonton lainnya juga masih terlihat keluar dari ruangan teater.
“Hai Boy,” tiba-tiba seorang cantik berambut panjang dengan hak tinggi menyapa Boy dari belakang. Persis seperti model. Bahkan untuk ukuran model Indonesia, mungkin masih kalah dan lebih cocok menjadi model berkelas internasional.
“Hai Alexa, apa kabar?” Boy tampak girang sepertinya mendapat kejutan di tengah malam habis menonton. Dikecupnya pipi kanan dan kiri gadis yang bernama Alexa itu. Mungkin masih seumuran denganku, hanya berbeda nasib saja mungkin.
“Baik Boy. Kamu habis nonton juga.”
“Iya ini habis nonton. Kapan kamu pulang dari Amerika, Alexa?”
“Oh baru kemarin aku pulang dari Amerika, kebetulan kan sudah selesai kuliahku.”
“Woh woh selamat selamat. Lulusan Amerika masih muda smart, cantik, energik. Anak pejabat polisi pula. Lengkap sudah.”
“Halah gombal kamu Boy. Kamu juga kan lulusan bisnis universitas Harvard, terbaik pula, cumlaude.”
Aku yang tiba-tiba terjebak di tengah obrolan Boy dan Alexa menjadi kikuk dan sedikit sebal melihat gaya Boy yang terlalu dekat dengan Alexa. Entah mengapa aku harus sebal dengan Boy, karena faktanya aku hanya teman Boy saja. Bukan siapa-siapa, sekedar sahabat dari kecil hingga sekarang.
“Eh sorry, jadi dianggurin kamu Aci, kenalin ini Aci temen kecilku dari Jawa Timur pas dulu aku masih sekolah di sana.”
“Hai Aci,” sapa Alexa dengan aksen Inggris yang seperti dibuat-buat.
“Hai,” aku sedikit memaksakan tersenyum di hadapan Boy dan Alexa.
“Oke Alexa besok deh aku main ke rumah kamu ya. Sekarang kami pulang dulu sudah malam.”
“Janji ya jangan sampai tidak main. Nanti aku bilang mama suruh siapin masakan paling enak untuk kamu.”
“Siap janji.”
Sebelum pisah Boy dan Alexa kembali kecup pipi kanan dan kiri. Seperti pasangan yang sudah lama sekali tidak bertemu. Mesra sekali pikirku. Boy pun kemudian mengantarku pulang. Tampaknya dia sedikit lebih beruntung dari aku. Baru seminggu bekerja di XO Internasional dia sudah mendapat fasilitas mobil. Camry pula, mobil yang biasanya dipakai para menteri dan pejabat eselon pemerintah.
“Makasih ya Boy. Jadi ngerepotin kamu!”
“Ah gapapa. Aku kalau lagi santai dan tidak ada kerjaaan pokoknya siap 100 persen kalau kamu butuh aku.”
“Kalau Alexa yang butuh bagaimana?”
“Ya aku datang juga hahaha anak orang kaya lagi dia hahahha.” “Huuuu dasar kamu, kekayaan terus yang diomongin.” “Salah memang whuuu.”
“Ah sudahlah. Makasih ya Boy sudah nemani malam ini. Hati-hati di jalan ya!”
“Oke Byee Aci, salam sama keluarga!”
Boy kemudian memutar balik mobilnya. Ia tak mau lama-lama, karena akan ada rapat dengan kliennya yang dari luar negeri, besok pagi katanya. Sementara, paman dan bibi sudah tertidur lelap juga sepertinya. Tak terliat lagi aktivitas di dalam rumah. Tak lama kemudian, aku langsung masuk kamar dan segera menghempaskan tubuhku. Melanjutkan sisa mimpiku yang terpotong di bioskop tadi.
Baca juga: Novel “GYT” (1)