13
Boy sedang mengobrol berdua dengan Direktur Marketing Warta Ibukota di ruang kaca yang biasa untuk pertemuan, ketika aku sampai kantor. Senyum dan tawa terlihat mengembang diantara keduanya. Beberapa dokumen perjanjian, tintanya terlihat masih basah membuktikan XO Internasional yang diwakili Boy dan Warta Ibukota baru saja menandatangani kesepakatan. Perjanjian iklan atau kerjasama entah apa. Tanpa sungkan aku langsung membuka pintu kaca ruang pertemuan dan membanting majalah tambang yang baru aku beli tadi. Sontak Boy dan Direktur Marketing Warta Ibukota kaget melihat tingkahku.
“Gayatri ada apa ini ?” Direktur Marketing itu tidak terima dengan perlakuanku yang sepertinya kasar.
“Iya Aci ini ada apa ?” Boy juga tidak kalah bingungnya melihat perlakuanku.
“Jelaskan semua ini Boy. Baca jelas-jelas majalah itu !” Boy kemudian melihat sejenak majalah tambang itu dan mulai paham maksudku.
“Gayatri kalau ada persoalan pribadi jangan dibawa-bawa ke kantor. Pak Boy ini klien kita.”
“Maaf Pak, ini bukan masalah pribadi. Tapi …” belum sempat aku selesai bicara kemudian Boy menarikku keluar.
“Bentar Pak, aku bicarakan permasalahan kami di luar saja. Kami permisi dulu kalau begitu.” Boy kemudian menarik tanganku untuk keluar ruang pertemuan kaca. Sementara Direktur Marketing yang belum mengetahui akar permasalahannya hanya terdiam saja sambil melihat Boy membawaku keluar kantor.
“Apa-apaan kamu Aci ? Memalukan sekali,” Boy tampaknya tidak terima dengan perlakuanku. Nada suaranya meninggi tak seperti biasanya, sama sepertiku.
“Baca itu siapa XO Internasional dan apa hubungannya dengan PT Karya Tambang Indonesia!”
“Iya Aku tahu PT Karya Tambang Indonesia merupakan salah satu anak perusahaan XO Internasional. Terus hubungannya denganku apa ?”
“Sudah Boy kamu jangan mengelak. Kamu sudah tahu kan kalau aku sedang menyelidiki kasus kecelakaan 10 warga Dusun Karangmangu di Puncak, Bogor. Makanya kamu mencoba menyuap aku dengan gaji 10 kali lipat dengan gajiku sekarang.”
“Menyuap, kamu jangan sembarangan menuduhku yang bukan-bukan,” Boy tak terima dengan tudinganku.
“Halah kamu jangan mengelak lagi. Aku sudah tahu semua akal bulusmu.”
Boy terdiam saja mendengar kemarahanku. Bibirnya bergetar ingin membalas, tapi sepertinya kalimat-kalimatnya tertahan kuat di ujung bibir.
“Kamu juga kan yang mengancamku dan keluargaku agar tidak melanjutkan liputanku. Belum cukup itu, kamu sekarang ke kantorku untuk menjalin kerjasama dengan Warta Ibukota supaya nasib kamu dan perusahaan kamu aman.”
“Aciii sudah, sudah cukup, cukup.”
“Aku benar-benar tidak menyangka kamu melakukan hal ini kepadaku Boy. Padahal kamu yang paling mengerti aku sejak kecil dahulu.”
“Semuanya bisa aku jelaskan Aci.”
Aku kemudian meninggalkan Boy sendirian di depan kantor Warta Ibukota lalu berlari menuju lift untuk turun. Boy sempat memanggil namaku 2 kali meminta waktu untuk menjelaskan duduk persoalannya. Tapi aku lebih memilih terus berjalan dan turun menggunakan lift kemudian naik taksi untuk pulang ke rumah, daripada kembali ke arah Boy. Sepanjang perjalanan aku masih tak habis pikir dan tidak percaya kalau Boy bisa menghinaku dengan tawaran posisi di perusahaannya untuk menghentikan liputanku. Dan lebih gilanya ancaman itu, sungguh bukan Boy yang selama ini kukenal.
###
Pintu gerbang rumah paman Handoko masih terkunci ketika aku sampai di rumah. Lampu taman yang biasanya sudah menyala pada jam segini, kulihat juga masih mati. Padahal jarum panjang di arlojiku sudah menunjuk ke angka 7. Masih sedikit beruntung, aku memiliki kunci cadangan yang diberikan paman Handoko. Sementara, pikiranku masih kalut akibat ribut dengan Boy tadi sore. Dengan sisa tenaga, aku kemudian membuka pintu depan rumah. Namun tiba-tiba kakiku menyandung sebuah batu ukuran agak besar yang sengaja diletakkan di depan pintu.
“Siapa sih yang meletakkan batu sebesar ini di depan pintu,” gumamku sendiri.
Aku kemudian menyalakan lampu depan rumah yang di sebelah pintu. Kulihat kembali batu depan pintu dengan jelas dengan bantuan cahaya lampu. Sebuah amplop berwarna merah kemudian cukup jelas terlihat di balik tindihan batu. Pikiranku langsung berlari dan menduga apakah amplop merah ini masih berhubungan dengan liputanku soal kecelakaan di Puncak Bogor. Segera kusisihkan batu ukuran sedang itu dan kuambil amplop berwarna merah dengan sedikit bergetar tanganku. Benar saja, ternyata di dalam amplop merah itu tertulis jelas sebuah surat yang jelas ditujukan kepadaku dengan huruf balok yang ditulis tangan dengan huruf besar-besar. Kecuali penulisan namaku.
“gayatri….KAMISUDAHTAHURUMAHKAMU.KALAUKAMUINGIN DARAH DI RUMAHMU. MAKA KAMI AKAN SEGERA BERIKAN DARAH KE KAMU. SEGERA HENTIKAN PENYELIDIKANMU.”
Surat itu kemudian terlepas dan jatuh ke lantai begitu aku selesai membacanya. Sekujur badanku semakin merinding karena takut mendapat ancaman untuk yang kedua kalinya. Aku kemudian tersandar lemas di kursi depan dan meneguk segelas air putih di meja tamu untuk menenangkan diri. Sempat terpikir menghubungi Boy untuk bercerita soal surat ini. Tapi begitu ingat, kalau Boy adalah bagian dari XO Internasional segera kuurungkan niatku itu. Belum sempat hilang rasa takutku, ponselku kemudian berdering. Kulihat sekilas, ternyata Paman Handoko yang menelpon. Segera kuangkat teleponnya dan segera ingin cerita soal ancaman yang diberikan kepadaku.
“Gayatri kamu kemana saja dari tadi tidak bisa dihubungi?” Paman Handoko seperti orang panik terdengar dari nada bicaranya.
“Maaf Paman tadi lagi banyak kerjaan di kantor. Ada apa kok sepertinya panik sekali?”
“Najwa, Gayatri, Najwa ?” Paman Handoko terdengar mulai menangis di ujung telepon.
“Najwa hilang Gayatri , Najwa hilang.”
Kepalaku seperti disambar petir mendengar berita kehilangan Najwa dari paman. Pikiranku yang sudah kalut dari tadi semakin bertambah kalut dan rasanya ingin meminum aspirin 2 pil sekaligus.
“Hilang bagaimana Paman?”
“Iya tadi sehabis les menari jam 10 pagi, pas aku jemput ke tempat latihannya sudah tidak ada. Kata guru tarinya sudah dijemput sama keluarganya. Tapi aku tanya ke bibimu juga katanya tidak jemput. Terus tanya ke Maria juga tidak jemput.”
“Tenang Paman. Sudah dicari kemana saja memangnya Paman. Ke teman-teman sekolahnya atau teman tarinya mungkin?”
“Sudah semuanya. Dari siang tadi hingga jam 5 sore kami bertiga sudah mencari kemana-mana. Tapi hasilnya nihil.”
“Sekarang, Paman dimana ?”
“Aku sedang di kantor polisi, Gayatri sedang melapor.” “Baik Paman, aku segera menyusul ke sana sekarang.”
Aku kemudian segera mencari tukang ojek yang biasa mangkal di sekitar kompleks rumah untuk mengantarkanku ke kantor polisi. Aku meminta tukang ojek itu agak cepat mengemudikan motornya. Dan tidak sampai 15 menitpun, aku akhirnya sampai di kantor polisi. Paman dan bibiku terlihat masih menangis terisak-isak di depan bangku pelapor. Sementara pengasuh Najwa, Maria terlihat lebih tegar dan berusaha menenangkan mereka berdua. Ketika kubuka pintu kantor polisi, paman langsung menghampiriku sambil terisak-isak menangis.
“Gayatri, ini bagaimana Najwa?”
“Tenang Paman, tenang. Bagaimana laporannya sudah dibuat oleh polisi?”
“Belum Gaytri. Belum.”
“Lho kok belum Paman ?”
“Belum 1 x 24 jam, kata petugas jaga. Karena itu polisi belum bisa menindaklanjutinya. Padahal kami sudah panik semuanya.”
“Hahhh kok tidak mau menindaklanjuti polisi macam apa itu. Yasudah aku saja yang ngomong ke polisi kalau begitu Paman.”
“Kamu jangan perkeruh keadaan Gayatri,” Paman Handoko berusaha menahan pundakku karena tidak ingin membuat suasana di kantor polisi menjadi keruh.
“Sudah Paman percaya sama Gayatri.”
Aku langsung mendatangi petugas jaga begitu mendapat izin dari paman. Tanpa meminta izin, aku langsung duduk di kursi depan petugas yang mencatat laporan.
“Malam Pak. Aku Gayatri wartawan Warta Ibukota.” “Malam Mba Gayatri ada yang bisa kami bantu?”
“Maaf aku mau tanya, mengapa laporan kehilangan keponakanku tidak Bapak segera tanggapi. Tadi menurut paman, anda belum bisa menindaklanjuti laporannya.”
“Mohon izin Mba, aturan di kepolisian memang demikian. Harus menunggu 1 x 24 jam terlebih dahulu, kemudian kita tindak lanjuti.”
“Bapak ini polisi bukan. Bapak apa tidak mengetahui sesuai instruksi Kapolri bahwa laporan kehilangan orang sudah tidak harus menunggu 1 x 24 jam,” suaraku agak meninggi ketika mendengar jawaban dari petugas jaga itu.
“Tapi Mba ?”
“Tidak ada tapi-tapian Pak. Kalau Bapak tidak mau menindaklanjuti laporan kehilangan keponakanku Najwa sekarang. Bapak sendiri ngomong dengan Kapolri. Aku telpon sekarang Pak Kapolri kalau Bapak mau?”
“Baikk Mba. Baik kami tindaklanjuti sekarang.”
Petugas polisi itu akhirnya mengiyakan permintaanku, meskipun sepertinya ragu dengan instruksi Kapolri yang kusebutkan tadi soal aturan 1 x 24 jam. Ia kemudian segera mencatat laporan tentang berita kehilangan Najwa. Di depan kami, polisi yang bertugas jaga juga terlihat berkoordinasi dengan petugas polisi lainnya yang sedang ada di lapangan. Segala informasi tentang Najwa kemudian ia sebarkan melalui jaringannya.
Usai tercatat semua laporannya, kamipun kembali pulang ke rumah sambil menunggu informasi dari polisi. Paman dan bibi terus menangis hingga suaranya hilang di sepanjang perjalanan pulang. Sementara aku dan Maria sibuk menenangkan mereka berdua. Meskipun di dalam pikiranku, aku juga semakin takut dan menduga-duga, apakah penculikan Najwa merupakan bagian dari teror akibat liputanku.
Tepat pukul 9 malam, kami berempat akhirnya tiba di rumah. Begitu membuka pintu taksi Bibi Kanti langsung berlari sambil teriak-teriak nama Najwa menuju depan pintu rumah. Najwa yang dicari seharian oleh paman dan bibi ternyata sedang meringkuk di depan pagar rumah sambil menangis sesenggukan. Wajahnya ditutup sebuah kain sehingga tidak bisa melihat ketika kami sudah berada di sebelahnya. Bibi Ratna lalu segera melepas kain penutup Najwa. “Ibuuu,” Najwa langsung memeluk Bibi Kanti seketika begitu penutup mukanya dibuka dan tali ikatannya dilepas oleh Bibi Kanti.
“Najwa takut Bu, Najwa takut Bu.”
“Sudah nak, sudah nak. Jangan takut lagi. Ada bapak dan ibu sekarang ?” Bibi Kanti menenangkan Najwa yang masih menangis dan ketakutan. Beruntung tak ada luka apapun di tubuh Najwa. Hanya ada beberapa cipratan darah saja di baju kuning yang dipakainya. Paman Handoko yang sudah lega karena Najwa sudah kembali juga ikut memeluk Najwa dan istrinya.
“Ibu Najwa takut Bu, Najwa takut !”
“Sudah gapapa Najwa sudah ada Bapak dan Ibu sekarang. Kamu yang tenang,” Bibi Kanti terus memeluk tubuh Najwa dengan erat.
“Sudah Najwa jangan menangis lagi. Bapak janji tidak akan meninggalkan kamu lagi nanti sehingga tidak terulang lagi seperti ini !”
“Bi dan Paman, ayo kita bawa masuk Najwa ke dalam rumah dahulu. Kasihan Najwa kedinginan kelamaan di luar dingin.”
Paman kemudian segera menggendong Najwa dibawa masuk ke kamarnya. Di kamar Najwa, Bibi Kanti terus membelai rambut Najwa berusaha menghilangkan rasa takut buah hati kesayangannya.
“Siapa nak tadi yang membawa kamu ?” Bibi Kanti bertanya ke Najwa dengan halus agar Najwa mau bercerita.
“Aku tidak tahu Bu. Tadi selepas aku les, tiba-tiba mulutku dibekap sama seseorang dari belakang dan mukaku ditutup dengan kain.”
“Kamu tidak ingat dibawa kemana saat itu.”
“Tidak tahu Bu. Tapi beruntung ada seseorang yang menolongku Bu tadi.”
“Siapa orang itu Najwa ?” tanya Paman Handoko penasaran.
“Aku tidak tahu Bapak. Najwa hanya mendengar perkelahian mereka saja. Lalu orang itu membawaku ke mobil dan mengantarku pulang.”
“Apakah dari suaranya kamu tidak kenal juga Najwa ?”
“Tidak Pak. Bahkan sampai di rumah tutup mukaku dan ikatan di tanganku juga juga tidak dilepas.”
“Biadab penculik itu,” Paman Handoko naik darahnya ketika mendengar cerita dari Najwa soal penculik itu. Sementara aku kembali teringat dengan ancaman di selembar kertas yang ditindih batu tadi sore. Orang yang mengancamku ternyata tidak ragu melakukan ancamannya kepadaku. Diam-diam aku jadi merasa bersalah kepada keluarga Paman Handoko.
“Sudah Paman dan Bibi, jangan ditanya macam-macam dulu. Biarkan Najwa istirahat dulu. Nanti biar aku yang urus ke polisi untuk memberi tahu kalau Najwa sudah ketemu.”
“Iyaa..iya Gayatri, terima kasih.”
“Sudah Najwa kamu istirahat dulu ya sekarang !” Aku dan Maria kemudian keluar dari kamar Najwa. Sementara Paman dan Bibi masih menemani Najwa untuk tidur.
Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba ponselku kembali ditelpon orang tidak dikenal. Aku kemudian keluar rumah menjauh dari kamar Najwa mengangkat telpon dari nomor tidak dikenal itu agar tidak terdengar paman dan bibi.
“Halooo, siapa ini ?”
“Kamu sudah lihat apa yang bisa kami perbuat kalau liputan kamu nanti tetap diteruskan?”
“Siapa ini, apa maksudmu ?”
“Ingat kalau kamu masih terus melanjutkan liputan. Nyawa keponakanmu tidak akan kembali lagi seperti malam ini,”penelpon misterius itu kemudian menutup telponnya.
“Halo, halo siapa kamu. Apa maksudmu melakukan ini ?”
Aku lalu mencoba menghubungi balik nomor misterius tersebut beberapa kali. Namun, penelpon misterius itu seperti sebelumnya dan kemudian mematikan telponnya. Setelah itu, aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Aku tidak menyangka ancaman demi ancaman yang diberikan orang yang tidak dikenal benar terjadi. Aku juga tidak akan memaafkan diriku nanti kalau sampai keponakanku yang tidak berdosa menjadi korban konflik antara aku dengan pelaku teror itu.
Di sisi lain, kemarahanku ke Boy makin menjadi-jadi setelah peristiwa yang menimpa Najwa. Mungkin Boy yang menjadi dalang semua ini. Mungkin, ia tidak rela jika harus kehilangan semua kemewahan yang sudah diperolehnya selama ini. Tapi, apa mungkin Boy yang selama ini kukenal bisa melakukan semuanya ini kepadaku, sahabat masa kecilnya. Rasanya seperti tidak mungkin ? Tapi kalau alasannya demi uang, mungkin saja itu bisa dilakukannya.