Pagi itu, suasana pasar ramai seperti biasa. Bahkan, beberapa pedagang buah dan sayur mayur menjajahkan dagangannya agak menjorok ke pinggir jalan raya. Belum lagi, ibu-ibu yang berlama-lama tawar menawar dengan pedagang membuat suasana carut marut lalu lintas di sekitar pasar.
Kepulan asap knalpot mobil dan motor sesekali menyemprot barang dagangan penjual. Tanganku digenggam erat sama ibu, supaya tidak terlepas dan hilang di keramaian pasar.
Sambil menenteng sayur belanjaan, ibu tengak-tengok mencari tukang becak untuk pulang.
“Gayatri ayo pulang, kamu itu lihat apa sih?”
“Itu Bu, tulisan tukang ojex. Harusnya pakai k bukan pakai x,” celotehku sambil menunjuk ke arah pangkalan tukang ojek di pinggiran jalan raya.
Gayatri itu namaku. Bapak dan ibuku berharap dengan nama Gayatri, aku bisa menjadi seperti ibu dari Kerajaan Majapahit. Perempuan di balik kejayaan kerajaan Majapahit. Tapi, bukan dalam hal kuasa dan kecerdikan Gayatri yang ingin ditiru bapak dan ibu. Namun, lebih kepada menjadi perempuan yang nantinya melahirkan raja dan ratu yang kemudian hari menjadi pemimpin di Wilwatika Nusantara. Sederhana sekali memang.
“Sudahlah biarkan saja, mungkin para tukang ojek ingin nama pangkalannya lebih bagus. Jadi diganti x bukan k.”
“Tidak bisa Bu, menurut guru bahasa Indonesiaku penulisan ojek yang benar itu memakai huruf k. Di beberapa koran yang aku baca juga pakai k, bukan pakai x,” jawabku tak mau kalah dari ibu.
“Iya, iya benar kata kamu. Tapi, apa iya kamu mau mengganti tulisan mereka. Itu kan pangkalan ojek mereka. Jadi hak mereka mau nulis apa.”
“Tapi Bu. Nanti kalau ditiru anak-anak sekolah kan jadi salah semuanya?”
“Iya kan, ada guru di sekolah nanti yang membenarkan kesalahan mereka. Sudah kamu ini, selalu tidak mau mengalah!”
“Iya memang betul begitu, Bu,” gerutuku.
Setelah mendapatkan becak, kami berdua kemudian pulang. Sepanjang perjalanan, pandanganku selalu tak lepas dari huruf dan kalimat. Ada saja yang aku protes ke ibu. Entah itu papan toko orang, tulisan di truk yang menyalip becak yang kami tumpangi. Atau tulisantulisan di kaos orang yang berjalan atau naik motor di depan becak. Semuanya tak luput dari pengamatan dan protesku.
Ibu tulisan itu harusnya yang benar begini, kata itu harusnya begini. Dan kalimat yang benar itu tidak seperti itu. Banyak sudah protesku ke ibu sepanjang perjalanan dari pasar ke rumah. Namun, ibu tak pernah bosan menjawab pertanyaan dan protesku. Meskipun, bukan ia yang menulis kata dan susunan kalimat di sepanjang perjalanan. Selalu dijawabnya satu persatu pertanyaanku, walaupun terkadang akhirnya menjadi debat kusir karena aku selalu tak mau mengalah.
Sesampainya di rumah, ibu seperti biasanya, memasak dan menyajikan makanan untuk bapak yang sedang bekerja di depan rumah membetulkan mobil di bengkel kecilnya. Bengkel dempul dan cat mobil saja. Meski tak lulus SD, bapak cukup terampil untuk mengecat mobil yang lecet-lecet dan beret-beret karena terserempet atau menabrak mobil lainnya. Sebagian orang menganggapnya sudah bakat alami bapak. Sebab, hasil dempulannya bisa dibilang lebih halus dan rapi dibandingkan mereka yang lulusan STM. Bahkan, beberapa pemilik mobil dari desa-desa lainnya juga tak sedikit yang menyerahkan mobilnya ke bapak untuk pengecatan dan dempul.
“Pak. Makan dulu sudah matang itu makanannya,” ibuku memanggil bapak yang lagi asyik bekerja di bengkel kecilnya.
“Iya Bu sebentar.”
Bapak kemudian membereskan beberapa peralatan dan masuk ke ruang depan untuk makan bertiga. Sama seperti orang desa pada umumnya, kamipun makan bersama di ruang tamu karena ketiadaan meja khusus makan. Dan juga tidak terlupa sambil melihat atau lebih tepatnya hanya mendengar televisi untuk selingan makan. Barangkali saja ada berita atau informasi yang penting yang bisa diterima saat makan bersama. Tapi, entah kenapa seperti biasanya, telinga dan kemudian mataku menemukan kata atau kalimat yang salah ucap dan tulis di televisi itu.
“Gayatri, sudah makan dulu. Nonton tv melulu kamu ini. Kalau sudah waktunya makan ya makan. Tidak usah nonton TV,” pinta bapak sambil menyantap makanan.
“Itu Pak, kok tulisannya Pak Bupati merubah peraturan soal kendaraan.”
“Iya memang kenapa Gayatri?” ibu ikutan bicara.
“Hehehe nggak Bu, masa Pak Bupati merubah, menjadi rubah, kayak siluman rubah,” jawabku sambil cekikikan sendiri.
“Haduh kamu ada-ada saja. Harusnya apa dong?”
“Harusnya mengubah Bu. Bukan merubah, kalau merubah nanti Pak. Bupati diprotes sama siluman rubah.”
“Halah, kamu ini ada-ada saja Gayatri. Sudah kamu makan saja!”
“Iya memang begitu Pak. Lagipula Bapak dan Ibu juga sama kerjaannya denganku. Tukang benerin!”
“Benerin apa?” tanya bapak.
“Iya itu, Bapak benerin mobil orang yang desok-desok. Kalau Ibu tukang benerin baju dan celana orang yang robek-robek.”
“Ah sudah, kamu lanjutkan saja makannya. Baru nanti kamu lanjutkan protes kamu itu, Gayatri!”
Keluarga tukang reparasi, begitu orang-orang desa biasanya menyebut keluargaku. Bapak yang menjadi tukang reparasi cat mobil orang. Semua mobil desok-desok, lecet-lecet, sudah pasti kembali mulus jika sudah keluar dari bengkel bapak. Lalu, ibu yang menjadi tukang tambal jahit baju celana orang. Sesekali juga terima reparasi boneka dari anak-anak tetangga. Kadang juga sekedar proyek ikhlas ibu, kalau boneka yang dibenahinya merupakan milik anak-anak sahabatnya.
Tak sepeserpun biasanya uang pemberian mereka yang diambil oleh ibu. Katanya, tak selalu hasil pekerjaannya harus dinilai uang. Tapi, ia sudah cukup bahagia, jika melihat tawa dan senyum anak-anak sahabatnya kembali muncul di wajah mereka yang lucu-lucu.
Tapi, anehnya bakat kedua orang tuaku tak satupun yang menurun kepadaku. Aku tak pandai memoles mobil apapun seperti keahlian bapak. Aku juga tak pandai menjahit dan membetulkan baju celana seperti ibu. Tak pandai juga menyulap boneka yang carut marut jahitannya.
Malahan sebaliknya, aku sering membuat boneka menjadi rusak. Membuat cat mobil berantakan karena aku pakai bermain-main. Selalu ada saja ulahku yang kadang menambah berat pekerjaan kedua orang tuaku. Maka lengkap sudah tidak ada keahlian orang tuaku yang menurun kepadaku.
Dan kalau boleh jujur, aku hanya tukang membetulkan kata dan kalimat yang salah. Meskipun, dari kelas 1 hingga kelas 6 SD, nilai bahasa Indonesiaku selalu cemerlang. Tapi belum pernah sekalipun, bakatku yang aneh dan berbeda dari kedua orangtuaku menghasilkan sepeser uang. Bahkan lebih sering menyulitkan mereka karena harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dan protesku. Tak jarang pula, orang-orang di sekitar kami, juga menjadi kesal karena aku protes tulisannya.
Penulis: Sasmito Madrim