Dewantara
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Advetorial
  • Sosok
  • Jejak
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Komunitas
  • Sains
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Advetorial
  • Sosok
  • Jejak
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Komunitas
  • Sains
  • Redaksi
Dewantara
No Result
View All Result
Home Seni Budaya

Novel “GYT” (14)

dewantara.id by dewantara.id
July 3, 2018
in Seni Budaya
0
Novel “GYT” (2)
55
SHARES
607
VIEWS
Share on TwitterShare on Facebook

 

14


Pak Johannes duduk serius di dalam ruangannya pagi itu. Menungguku. Diam tanpa melakukan aktivitas apapun. Hanya menungguku saja. Pintu ruangannya juga terbuka, seakan mempersilahkan aku agar langsung masuk ke ruangan pemiliknya. Belum sempat kuketuk pintu, Pak Johannes sudah berteriak dari kursinya.

“Masuk kamu Gayatri !”

“Iya Pak.”

Muka Pak Johannes memerah seperti menahan amarah ketika aku duduk di kursi di depannya.

“Kamu mengapa bikin malu perusahaan Gayatri. Kemarin aku sampai dipanggil Direktur Utama gara-gara kamu.”

Aku sudah bisa menebak arah kemarahan Pak Johannes. Pasti karena keributanku dengan Boy kemarin sore. Aku masih diam saja mendengar Pak Johannes melanjutkan kemarahannya.

“Kamu tahu siapa Pak Boy itu siapa ? Perwakilan dari XO Internasional yang sedang menjalin kerjasama dengan Warta Ibukota yang nilainya puluhan miliar.”

Aku tetap terdiam membisu sambil mendengarkan apa sebenarnya yang akan disampaikan Pak Johannes terkait keributan kemarin.

“Jadi kamu paham tidak, pentingnya Pak Boy bagi kita,” Pak Johannes semakin menjadi amarahnya dan menggebrak mejanya.

“Aku bisa jelaskan Pak.”

“Jawab dong dari tadi. Jangan jadi pengecut yang diam saja tak bertanggung jawab setelah membuat masalah.”

Cukup keras juga sebutan pengecut yang ditudingkan Pak Johannes kepadaku. Selama hampir setahun bekerja di Warta Ibukota, baru kali ini Pak Johannes marah seperti ini.

“Boy itu temanku sejak kecil Pak. Dan Bapak masih ingat kasus yang sedang saya investigasi itu?”

“Kalau memang Pak Boy itu teman kamu. Apa kamu juga bisa seenaknya begitu memperlakukannya di kantor seperti kemarin?” Pak Johannes masih terus menyerangku dan tak mau mengalah.

“Dan Bapak tahu hasil penyelidikanku selama 2 hari di Semarang, meninggalnya 10 korban kecelakaan di Puncak Bogor ada kaitannya dengan PT Karya Tambang Indonesia.”

“Lalu apa hubungannya dengan Pak Boy?”

“Boy berusaha menyuapku dengan membujuk masuk kerja di XO Internasional dengan gaji 10 kali lipat dari gajiku sekarang.”

“Bentar jadi apa hubungannya XO Internasional dengan PT Karya Tambang Indonesia ?”

“PT Karya Tambang Indonesia itu salah satu anak perusahaan dari XO Internasional. Yang saat ini sedang mau go internasional dan ada beberapa investor yang akan masuk kesana.”

“Oke, tapi apa buktinya kalau XO Internasional terlibat dalam rekayasa kecelakaan di Puncak seperti dugaan kamu di awal ?”

“Dari sampel darah kesepuluh korban sudah jelas semuanya mengandung merkuri. Dugaan awal kecelakaan tersebut masih ada kaitannya dengan dampak pencemaran lingkungan di sekitar wilayah pertambangan. Buktinya yaitu darah para korban yang mengandung merkuri.”

“Oke tapi apa buktinya kecelakaan tersebut direkayasa dan itu dilakukan oleh XO Internasional. Kamu jangan main tuding Gayatri?”

“Iya itu akan aku jawab nanti di sisa waktuku untuk investigasi Pak.”

“Oke anggap kamu benar. Tapi apa hak kamu bertindak ke Pak Boy seperti kemarin.”

“Maaf kalau soal itu Pak. Itu kembali ke soal personalku dengan Boy Pak. Seperti yang kujelaskan di awal tadi.”

“Tapi kamu tetap tidak boleh bertindak seperti itu !”

“Baik Pak, aku mengaku salah soal itu. Kalau Pak Johannes mau memberikan sanksi, aku siap menerima sanksinya. Apapun itu. Kalau sudah tidak ada lagi , aku mohon izin meninggalkan ruangan Pak !”

Butiran air mataku tiba-tiba meleleh ketika aku memutar balik dan meninggalkan ruangan Pak Johannes. Tekanan yang bertubi-tubi yang datang kepadaku sepertinya begitu besar. Mulai dari ancaman sms, penculikan Najwa dan sekarang kemungkinan sanksi dari Warta Ibukota. Mungkin bisa juga berujung kepada pemecatanku dari perusahaan media paling bergengsi ini. Meski demikian, aku tidak mau dibilang pengecut seperti yang disebut Pak Johannes. Aku seka air mataku agar tidak terlihat orang-orang kantor lainnya. Tapi karena air mataku sudah tak terbendung lagi, aku akhirnya memilih pergi keluar kantor untuk mencari udara segar. Entah kemana, yang penting melupakan soal liputanku terlebih dahulu.

###

Aku berjalan saja menyusuri trotoar di sepanjang trotoar Thamrin. Meskipun masih jam 9.30 pagi, jalanan Ibukota sudah ramai mobil lalu lalang. Sesekali mereka saling membunyikan klakson satu sama lain karena tidak sabar dengan kemacetan. Kucoba melepaskan satu persatu tekanan yang terus menghimpit pikiranku di setiap langkahku. Kuhirup napas dalam-dalam mengais dan mencari sedikit oksigen bersih di pagi itu untuk kujejalkan ke dalam otakku agar dapat berpikir sedikit longgar. Tapi tak juga terurai beban pikiranku yang terasa sudah terlalu penuh di dalam otak.

Mungkin aku butuh kafein untuk membantu mengurai semua masalah. Maka kuputuskan segera masuk ke kafé kopi dan memesan secangkir. Aku duduk saja sendiri di sudut kafe tidak tahu harus berbuat apa. Melanjutkan liputan dengan segala ancaman itu. Atau menyudahi saja liputan ini untuk menyenangkan semua pihak, memberi rasa aman bagiku dan keluarga. Tapi tentu akan menjadi tidak adil bagi para korban kalau kuhentikan liputan ini.

Aku juga tidak peduli orang-orang di sebelahku sedang membicarakan apa. Entah bisnis, politik, budaya tak ada satupun yang masuk ke telingaku dan membuatku tertarik untuk menguping seperti dahulu. Kutundukkan saja kepalaku sambil menyesap kopi yang entah tak berasa pagi ini. Hingga seorang wanita cantik seperti model berdiri di depanku juga tak kusadarinya. Hingga, ia memanggilku.

“Gayatri.” Alexa ternyata wanita cantik yang memanggilku. Teman dekat Boy atau mungkin kekasihnya. Aku tidak mengetahui betul hubungan antara mereka berdua.

“Gayatri ada yang perlu aku sampaikan !” “Kamu kenapa tahu aku sedang ada di sini?”
“Aku tadi ke kantor kamu, tapi kata satpam kantor kamu kamu sudah turun ke luar kantor. Begitu aku sampai bawah kulihat kamu sedang berjalan sendiri dan masuk kafe ini. Aku ada hal penting yang ingin aku sampaikan.”

“Soal Boy ?”

“Iya soal Boy. Boy.”

“Maaf Alexa, aku saat ini sedang tidak ingin membahas apapun tentang Boy.”

“Boy sedang membutuhkan kamu sekarang Gayatri. Tolong !”

“Itu urusanmu dan Boy berdua. Bukan urusanku.” Aku lalu berdiri hendak meninggalkan Alexa sendiri di dalam kafe. Alexa terus mengikutiku hingga keluar kafe dan mengejarku berjalan di trotoar jalan dengan sepatu hak tingginya.

“Gayatriii berhenti sebentar. Ini serius !” Suara Alexa tiba-tiba meninggi hingga aku terpaksa berhenti sejenak.

“Boy sedang kritis sekarang di rumah sakit. Makanya aku mencarimu sampai kesini.”

“Apa urusannya Boy sedang kritis atau tidak bagiku?”

“Boy sedang memanggil-manggilmu setiap saat, aku takut kalau kamu terlalu lama, Boy akan tidak kuat lagi dan kamu akan menyesal seumur hidup.”

“Tapi kamu tahu tidak, apa yang sudah dilakukan Boy kepadaku ?”

“Aku tahu-tahu semuanya yang dilakukan Boy. Setiap hari dia cerita dan khawatir tentangmu. Dan kamu tahu tidak Boy sedang kritis karena apa? Karena menolong keponakanmu, Najwa.”

“Kamu jangan mengarang cerita terus Alexa. Aku bosan mendengarnya. Boy manusia paling pengecut yang sudah kukenal.”

“Prakkk,” Alexa seketika itu menampar pipiku dengan keras karena kesal.

“Gayatri. Jaga mulut kamu ! Kamu mestinya bersyukur kamu dan keluarga kamu bisa hidup sampai detik ini. Itu semuanya karena Boy. Boy juga yang menyelamatkan Najwa hingga dia harus tertusuk pisau penjahat dan sekarang harus dirawat di rumah sakit.” Alexa terus bicara dengan berapi-api dan berusaha meyakinkanku. Pancaran matanya tidak sedikitpun memancarkan kebohongan. Meski belum percaya, aku terus mendengar penjelasan Alexa tentang Boy.

“Sekarang kamu ikut aku ke rumah sakit segera.”

Aku pasrah saja ketika Alexa menggelandangku masuk ke dalam taksi dan meluncur ke rumah sakit. Pikiranku masih kalut selama di taksi menuju rumah sakit. Alexa masih melanjutkan celotehnya di dalam taksi. Aku sudah tidak dapat berpikir lagi. Cerita mana yang benar dan harus kupercayai. Fakta temuan aku sendiri bahwa Boy yang kemungkinan kuat terlibat dalam semua tindakan XO Internasional. Atau cerita dari Alexa, bahwa Boy lah yang menjadi juru selamatku hingga saat ini. Aku sudah tidak mampu lagi memilahnya, mana informasi yang benar dan mana yang bohong.

Sesampainya di rumah sakit, Alexa kembali menggelandangku menuju kamar perawatan Boy. Kami berjalan menelusuri lorong-lorong rumah sakit menuju kamar yang menurut Alexa kamar perawatan Boy.

Pikiranku sedikit demi sedikit mulai sadar. Bahwa apa yang dibicarakan Alexa mulai mendekati kebenaran. Terbukti, Alexa benar menuju rumah sakit dan sekarang menuju kamar Boy. Mengetahui hal itu, tiba-tiba rasa takut menghampiriku. Takut kalau apa yang diceritakan Alexa kalau Boy sekarang sedang sekarat di rumah sakit. Dan tentu dari semua ketidaksiapan yaitu aku tidak siap menghadapi kebenaran kalau aku telah salah menilai Boy.

“Ini kamar Boy. Kamu masuk saja, kutunggu di luar.”

Begitu kubuka kamar rawat Boy, sahabat kecilku itu ternyata benar sedang meringkuk tak berdaya di tempat tidur rumah sakit. Perlahan air mataku mulai mengalir bersamaan dengan rasa bersalahku. Ia masih tidak sadarkan diri ketika aku mendekatinya. Kutatap wajahnya beberapa lebam akibat luka bekas pukulan. Perut bagian atas yang mendekati jantungnya masih terbalut kain putih tampak seperti luka bekas tusukan. Dan yang lebih membuatku tidak kuat menghadapi ini semua. Boy terus memanggil namaku “Aci, Aci, Aci.”

Kugenggam tangan Boy. Dingin rasanya seperti tidak ada darah yang mengalir ke tangannya. Boy terus memanggil namaku meskipun aku sudah disampingnya. Hatiku semakin teriris-iris melihat rintihan Boy memanggilku terus menerus.

“Aci, Aci, Aci.”

“Aku sudah disini Boy, aku sudah disini Boy.” Air mataku terus meleleh terus tak terbendung. Kubelai dan kuusap wajahnya yang membiru lebam karena pukulan.

“Bangun Boy, aku sudah disini, aku sudah disini.”

“Aci, Aci apakah ini kamu ?” Boy mulai tersadar dari tidurnya. Aku sedikit lega melihatnya sudah kembali sadar. Matanya sedikit terbuka untuk memastikan aku yang sedang berbicara dengannya.

“Iya Boy, ini aku, Boy, Aci sahabatmu.” “Aci, Aci.”

“Iya Boy maafkan aku salah menilaimu !” Air mataku terus menetes tak tertahan melihat kondisi Boy.

“Kamu tidak salah Ci. Kamu tidak salah,” suara Boy terdengar berat karena menahan rasa sakitnya.

“Aku salah menilaimu Boy. Aku begitu buta melihat sahabatku dan menudingmu yang bukan-bukan. Maafkan aku Boy !”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tidak salah Aci. Kamu wartawan yang hebat. Aku bangga punya sahabat sepertimu.”

“Maafkan aku Boy. Aku telah salah menilai kamu. Menilai kamu dari luar saja, salah menilai kamu karena posisimu di XO Internasional.”

“Tidak ada yang dimaafkan Aci, tidak ada, kalau ada apa-apa denganku, semuanya ada di Alexa.”

“Tidak akan ada apa-apa dengan kamu Boy. Tidak akan ada apa-apa denganmu Boy.”

Boy kembali merintih kesakitan dan tidak sadarkan diri lagi. Aku lalu berteriak-teriak minta tolong. “Dokter tolong, Dokter tolonggg, Dokter tolong !”

Alexa yang mendengar suaraku lalu masuk ke dalam kamar dan melihat kondisi Boy. Tidak lama kemudian Dokter bersama 2 suster lainnya menyusul masuk ke kamar Boy. Aku dan Alexa kemudian diminta keluar. Aku menjadi khawatir kembali, takut kalau terjadi apa-apa dengan Boy. Aku berdoa kepada Tuhan agar cepat memberikan kesembuhan kepada Boy. Akupun juga rela berganti sakit dengan Boy kalau diizinkan Tuhan. Kalau aku bisa saja mempercayai Boy sedikit mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya.

Alexa juga tidak kalah paniknya menunggu di luar kamar perawatan Boy. Ia bolak balik berjalan di depan kamar. Sesekali ia duduk, kemudian berdiri kembali dan mondar-mandir. Sementara, detik demi detik bagi Boy adalah perjuangannya untuk melawan rasa sakit di kamar perawatan. Dan perjuangan bagi dokter untuk terus memberi harapan bagi kami berdua. Perempuan yang ingin Tuhan memberikan keajaiban bagi Boy sehingga bisa kembali bersama.

Tiga puluh menit berlalu, dokter dan timnya belum juga keluar dari ruangan Boy. Aku dan Alexa semakin gelisah ingin mengetahui kabar Boy. Kubaca terus doa dan puji-pujian kepada Tuhan. Alexa yang sudah tak sabar menunggu kemudian ingin masuk ke kamar Boy melihat apa yang terjadi di dalam. Belum sempat membuka daun pintu, Dokter kemudian keluar dari kamar perawatan Boy. Aku langsung berlari menuju ke arah Dokter dan Alexa.

“Jadi bagaimana keadaan Boy sekarang Dokter ?” Alexa tak sabar ingin mengetahui kabar Boy yang sudah 30 menit menjalani perawatan di dalam kamar. Sementara aku sedang berusaha membaca wajah dokter melalui mimik mukanya. Tapi tak satupun informasi yang dapat kugalih dari wajahnya yang datar.

“Maaf kami sudah berusaha.Bapak Boy tidak bisa diselamatkan, sepertinya luka tusuk ke jantungnya sudah tidak bisa ditahannya lagi.”

“Dokter, anda bercanda kan, anda bercanda kan ?” aku mendorong-dorong tubuh dokter itu seakan tidak percaya dengan yang disampaikannya.

Alexa pun demikian sama halnya denganku. “Dokter…Dokter tolong selamatkan nyawa Boy, Dokter. Berapapun akan aku bayar,” pinta Alexa.

“Maaf nona, kami sudah berusaha memberikan yang terbaik. Tapi Tuhan berkata lain.”

“Dokterr,” Alexa berteriak histeris. “Berapa uang yang anda minta agar nyawa Boy bisa dikembalikan…Dokter. Tolong sebut anda minta berapa jumlahnya, akan aku bayar semuanya.”

“Maaf Nona, kami hanya dokter. Tuhan yang menentukan.” Dokter itu kemudian pergi meninggalkan kami berdua. Alexa lalu berlari masuk ke ruang perawatan sambil berteriak-teriak memanggil nama Boy.

Sementara, sekujur tubuhku seperti terpaku seakan habis disambar petir. Hatiku semakin sakit, karena air mataku sudah habis tak keluar lagi. Kulihat dari kejauhan, Alexa terus memeluk Boy sambil terus berteriak sambil menagis.

“Boy, jangan tinggalkan aku Boy. Jangan tinggalkan aku Boy,” begitu terus Alexa berteriak-teriak dan terus memanggil nama Boy.

Dipukul-pukulnya tubuh Boy agar kembali lagi bisa bernafas. Sementara kedua suster yang lainnya berusaha sekuat tenaga menenangkan Alexa agar jenazah Boy segera dapat dimandikan selanjutnya dimakamkan. Tapi Alexa terus memukul tubuh Boy dan tak mau kalah dengan kedua suster itu. Meski demikian, Boy sahabat kecilku juga tak kunjung bangun. Ia telah meninggalkanku dan Alexa selamanya. Aku hanya bisa menyesal dan berharap semuanya bisa kembali diputar kembali. Sehingga semua kebaikan yang dilakukan Boy dapat kubalas dengan kepercayaan dariku. Tapi apa arti penyesalan yang datang di akhir begini. Tentu tiada gunanya.

 

 

 

 

 

 

 

Tags: novel GYTsasmito madrim
Tweet14Share22Share6Share
dewantara.id

dewantara.id

Related Posts

Suguhan Sekian Semesta dalam Dr.Strange: Multiverse of Madness

Suguhan Sekian Semesta dalam Dr.Strange: Multiverse of Madness

May 11, 2022
Review Serial Hitam: Zombi Masuk Desa

Review Serial Hitam: Zombi Masuk Desa

August 17, 2021
The Falcon and Winter Soldier: Sambutlah “Black Captain America” yang Humanis dan Politis

The Falcon and Winter Soldier: Sambutlah “Black Captain America” yang Humanis dan Politis

June 9, 2021
A Quiet Place II: Tegang dan Seru Selevel Jurassic Park Lost World dan I’m Legend

A Quiet Place II: Tegang dan Seru Selevel Jurassic Park Lost World dan I’m Legend

June 9, 2021
Ulas Serial ‘Girl From Nowhere: Season 1’: Setan Itu Hanya Menggoda

Ulas Serial ‘Girl From Nowhere: Season 1’: Setan Itu Hanya Menggoda

June 7, 2021
Menyelami Masa Revolusi Indonesia lewat Idrus

Menyelami Masa Revolusi Indonesia lewat Idrus

April 18, 2020
Revolusi Indonesia Lewat Layar Lebar

Revolusi Indonesia Lewat Layar Lebar

April 15, 2020
Mentari di Raja Ampat: Wisata Terestrial Berbasis Konservasi

Mentari di Raja Ampat: Wisata Terestrial Berbasis Konservasi

January 24, 2020
Load More

Tentang Kami

Dewantara adalah situs informasi seputar kebudayaan khususnya lingkup pendidikan. Berisi artikel, berita, opini dan ulasan menarik lainnya. Dihuni oleh para penulis dan praktisi berpengalaman.

E-mail: jejaringdewantara@gmail.com
Yayasan Bintang Nusantara

Follow Us

Category

  • Advetorial
  • Dari Anda
  • Galeri
  • Garis Waktu
  • Internasional
  • Jejak
  • Jendela Dunia
  • Kabar
  • Kakiku
  • Komunitas
  • Mahasiswa
  • Nasional
  • Opini
  • Praktisi
  • Profil
  • Sains
  • Seni Budaya
  • Siswa
  • Sosok
  • Tips
  • Uncategorized

Popular

  • SMPN 5 Cilegon Serius untuk Jadi Sekolah Rujukan Google

    SMPN 5 Cilegon Serius untuk Jadi Sekolah Rujukan Google

    34 shares
    Share 14 Tweet 9
  • “Bahasa Melayu Sebagai Lingua Franca Masa Kurun Niaga”

    33 shares
    Share 13 Tweet 8

Recent News

LAZISNU Kota Cilegon Menebar Manfaat melalui Berbagi Takjil Gratis

LAZISNU Kota Cilegon Menebar Manfaat melalui Berbagi Takjil Gratis

March 23, 2025
Peresmian Ruang Kelas Masa Depan oleh Dirut PT.SPC Raymond, Direktur wilayah EMEA Google for Education Colin dan Staf Khusus Menteri Kemendikdasmen Rowi.

Google dan SPC Luncurkan ‘Ruang Kelas Masa Depan’, Kemdikdasmen, Pemprov Banten, dan KSRG Dukung

March 12, 2025

© 2018 Dewantara.id

No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Advetorial
  • Sosok
  • Jejak
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Komunitas
  • Sains
  • Redaksi

© 2018 Dewantara.id

Go to mobile version