16
Sesampai di kantor Warta Ibukota segera kubuka flasdisk milik Boy yang diberikan Alexa. Mataku mendelik isi dalam flasdik. Semua kepingan puzzle yang aku cari selama ini ada di dalam flasdisk Boy. Entah darimana, ia mendapatkan bahan itu. Tapi dengan ini semuanya, sudah cukup aku membuat tulisan investigasi pertamaku. Siapa yang menabrak minibus yang ditumpangi warga Dusun Karangmangu. Mobil yang dipakai untuk menabrak punya siapa, lengkap semuanya. Termasuk alasan XO Internasional harus menghilangkan nyawa para warga dusun itu. XO Internasional sedang membutuhkan uang segar dari penjualan saham dari anak perusahaannya PT Karya Tambang Indonesia.
Banyak modal yang sudah digelontorkan ke sana ketika mereka mengetahui kandungan emas di sekitar pegunungan dekat dusun Karangmangu. Apalagi kandungannya untuk puluhan tahun ke depan. Mereka tidak mau gara-gara dampak lingkungan yang disebabkan oleh PT Karya Tambang Indonesia menjadi batu ganjalan mereka mengambil bagian yang lebih besar. Mungkin ribuan kali lipat yang sudah diambil oleh anak perusahaannya.
Bahkan yang lebih mengagetkan lagi, petinggi partai politik dan beberapa menteri terlibat dalam skenario ini semua. Mereka memiliki saham yang cukup besar di PT Karya Tambang Indonesia yang kini sudah dibawah manajemen XO Internasional. Uang yang didapatkan mereka jumlahnya juga triliunan rupiah. Cukup hidup untuk puluhan keturunan mereka mungkin. Bahkan untuk keturunan-keturunan dari istri-istri mereka yang tidak resmi juga bisa sampai beberapa generasi.
Tanganku terus mengetik cepat, mengumpulkan semua yang sudah kudapat di lapangan dan kutambah data dari Boy, untuk segera kujahit menjadi tulisan. Kuminum beberapa gelas kopi yang sudah kutambah garam untuk mendorong daya kinerjaku. Makan siang dan soreku juga terlewat karena sedang larut dalam bait demi bait tulisan investigasiku. Hanya satu roti kering saja yang kuingat untuk kujejalkan ke perut jam 8 malam saat itu. Itupun karena perutku tiba-tiba melilit karena sudah tidak kuat menahan lapar.
Satu persatu orang yang di kantor kemudian meninggalkan kantor ketika jam dinding menunjukkan angka 10. Tapi, aku masih terus menjahit paragrap demi paragrap. Baru ¾ yang sudah selesai kutulis dari siang hingga malam ini. Masih ada waktu 2 jam lagi pikirku sebelum deadline penerbitan besok. Kusesap lagi kopi ketigaku untuk melanjutkan tulisanku. Kubuka juga beberapa informasi dari internet untuk menambah informasi tentang perusahaan induk XO Internasional yang berada di Amerika Serikat. Orang-orang penting juga ternyata pemiliknya di Amerika Serikat. Setidaknya orang paling berpengaruh dalam sejarah Amerika Serikat.
Dan tepat pukul 11 malam, lengkap sudah tulisan investigasiku dan segera kutuliskan kodeku Gyt di pojok kiri bawah. Kubaca lagi sebanyak 3 kali tulisanku sebelum kukirim ke Pak Alex dan Pak Johannes. Hanya beberapa typo saja yang kubenahi. Tapi secara isi sudah runut pikirku. Aku lalu secepatnya menelpon Pak Alex agar tulisanku bisa masuk ke dalam penerbitan besok.
“Halooo Gayatri. Ada apa malam-malam begini telpon?” tanya Pak Alex di ujung telepon.
“Malam Pak Alex, aku sudah kirim tulisan lengkap hasil investigasiku soal kecelakaan yang di Puncak, Bogor beberapa pekan lalu.”
“Oke besok aku lihat ya.”
“Jangan Pak, liputan ini harus terbit besok Pak !” “Hah mengapa harus besok Gayatri ?”
“Jangan besok Pak. Semakin ditunda semakin berbahaya resikonya bagiku. Kecelakaan tersebut tidak hanya berhubungan dengan perusahaan tambang saja. Tapi ternyata petinggi partai politik dan beberapa menteri karena mereka adalah pemilik saham mayoritasnya.”
“Oke-oke Gayatri. Aku akan baca sekarang. Kamu hubungi Pak Johannes sekarang untuk mendapatkan persetujuannya.”
“Baik Pak. Terimakasih.”
Kututup telpon Pak Alex dan segera kuhubungi Pak Johannes. Tapi sudah 3 kali kuhubungi, semuanya tidak diangkatnya. Sementara waktu kurang 45 menit lagi dari penerbitan. Kutelpon lagi Pak Alex, apakah memungkinkan kalau tulisanku diterbitkan tanpa persetujuan dari Pak Johannes. Tapi, kata Pak Alex tidak mungkin menerbitkan tulisan tanpa persetujuan dari Pak Johannes. Sesuatu yang mustahil katanya.
Kutelpon lagi Pak Johannes, tapi tidak terjawab lagi. Waktu terus berlalu dan semakin mendekati waktu penerbitan. Lima belas menit lagi menuju jam 12 malam. Aku lalu memutuskan untuk mengirim sms ke Pak Johannes. Panjang lebar aku jelaskan melalui sms. Tapi, lima menit berlalu belum juga ada jawaban dari Pak Johannes.
Aku menghubungi kembali Pak Alex. Ia menyatakan tulisanku sudah oke dan sudah bisa diterbitkan untuk besok. Hasil editannya juga sudah dikirim ke Pak Johannes dan dikirim kembali ke aku. Tapi, Pak Alex kembali menegaskan tanpa ada persetujuan dari Pak Johannes maka tulisanku tidak akan bisa terbit.
Kembali kuhubungi Pak Johannes karena waktu yang terus mepet, kurang dari 5 menit lagi. Aku tidak mau menanggung resiko ini menjadi beberapa hari lagi kalau tulisan ini tidak terbit. Tulisan ini harus diterbitkan besok seperti halnya bayi 9 bulan yang harus dikeluarkan. Tapi tidak ada satupun telponku yang diangkat dari Pak Johannes. Baik melalui ponselku atau melalui telpon kantor. Tidak ada satupun yang diangkat.
Bahkan sampai pukul 12.01, Pak.Johannes belum juga mengangkat telponku dan smsku. Akupun duduk lemas terkulai di kursiku. Semua yang sudah sejauh ini terhenti disini. Terhenti oleh orang nomor satu di media yang menjadi idaman seluruh wartawan. Terhenti di pemimpin redaksi Warta Ibu Kota, Pak Johannes. Orang yang pernah memberikan mata kuliah jurnalistik kepadaku. Akupun akhirnya tertidur pulas di kantor sendirian tengah malam dengan semua kekalahanku hari ini.
###
Suara orang-orang terdengar samar-samar di telingaku. Kubuka sedikit mataku ternyata awak redaksi Warta Ibukota sudah kembali bekerja di meja masing-masing. Kulihat jam dinding sudah menunjuk jam 10 pagi. Kembali ku teringat peristiwa semalam. Pak Johannes yang tidak bisa dihubungi semalam. Atau mungkin sengaja tidak mengangkat telpon dariku, supaya tulisan investigasiku tidak terbit hari ini.
Aku segera bangun dari tidurku. Tanpa pikir panjang, aku mengambil langsung koran Warta Ibukota hari ini. Kugenggam di tangan dan kubawa masuk ke ruangan Pak Johannes dan kubanting di depan Pak Johannes yang saat itu sudah di ruangannya.
“Mengapa Pak Johannes semalam tidak bisa dihubungi,” pemimpin redaksi Warta Ibukota itu agak terkaget ketika aku bertanya sambil membanting koran.
“Asal Pak Johannes tahu, teman dekatku meninggal karena liputan ini, keponakanku diculik karena liputan ini. Beberapa kali aku mendapat ancaman dari XO Internasional. Apakah Pak Johannes sebagai pimpinan ada untukku selama ini?” Pak.Johannes masih berdiam diri terus sambil mendengar celotehanku.
“Apa ini semua karena iklan yang dijanjikan oleh XO Internasional? Lalu dimana independensi yang sering Bapak sampaikan selama ini?” tantangku ke Pak Johannes karena sudah frustasi semalaman tidak bisa menghubunginya. Pak Johannes yang dari tadi bungkam, akhirnya membuka mulutnya.
“Silahkan duduk Gayatri,” Pak Johannes mempersilahkanku duduk dengan sopan. Jarang-jarang pikirku Pak Johannes berbicara sesopan itu kepadaku. “Melihat kamu yang masih belia ini, aku yang sudah tua malu sebenarnya sama kamu. Malu karena sempat berpikir akan menukar berita dengan iklan perusahaan.”
Aku gantian menyimak penjelasan Pak Johannes dan berusaha menebak arah pembicaraannya kemana.
“Butuh waktu yang lama untuk menyadari itu dan membunuh ego sendiri bahwa aku memang harus belajar kepada yang muda. Kamu, Gayatri,” Pak Johannes melanjutkan omongannya.
“Tapi kenapa Pak Johannes tidak mengangkat telponku semalaman. Bapak tahu tidak resikonya kalau aku terus menunda tulisanku diterbitkan?”
“Aku tahu semuanya itu Gayatri.”
“Pak Johannes tidak tahu resikonya mendapat ancaman dari seseorang karena liputan kita. Pak Johannes tidak tahu bagaimana salah satu keluarga kita diculik karena liputan kita. Pak Johannes tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan sahabat masa kecil kita karena liputan kita. Jadi Bapak jangan bilang mengetahui ini semua.”
“Iya aku memang tidak tahu semuanya. Karena kamu yang menjalani ini semua.”
“Iya aku yang menjalani semuanya. Mulai detik ini saya keluar dari Warta Ibukota. Sudah cukup pekerjaanku dikonversi dan digeser karena iklan yang bernilai puluhan miliar. Sementara nyawaku yang kemungkinan bisa hilang sewaktu-waktu tidak ada artinya bagi Pak Johannes.”
“Kamu tidak perlu keluar Gayatri. Kamu bisa lihat sekarang halaman pertama di koran yang kamu banting itu!”
“Apa maksud Pak Johannes ?”
Bukannya menjawab pertanyaanku Pak Johannes malah berdiri hendak meninggalkan ruangannya. Ia sempatkan menepuk-nepuk pundakku beberapa kali sebelum meninggalkan ruangannya. “Kamu jaga terus jiwa mudamu Gayatri !” Usai mengucapkan itu, iapun pergi meninggalkan aku sendiri di ruangannya. Kuambil lagi koran yang kubanting di meja Pak Johannes tadi. Alangkah terkagetnya aku ketika melihat tulisan yang aku kerjakan semalaman, ternyata diterbitkan oleh Warta Ibukota menjadi headline. Kubaca paragraf demi paragraf, tidak ada satupun kalimat yang diganti. Termasuk kode penulisku Gyt di pojok kiri bawah tulisan.
Aku segera lari keluar ternyata Pak Johannes sudah tidak terlihat di kantor. Aku ingin mengucapkan terima kasih karena sudah memberi kesempatan kepadaku untuk menerbitkan tulisan ini. Lega rasanya, kerjaanku selesai. Kelegaanku pun kian bertambah ketika kulihat di televisi yang digantung di ruang redaksi hampir semua media televisi membicarakan skandal yang kutulis. Kumpulan wartawan juga menyerbu para pimpinan partai politik dan beberapa menteri yang kutulis namanya, di kantor masing-masing.
Beberapa pengamat saham juga tidak kalah ramainya berbicara di media-media online. Mereka mengomentari jatuhnya saham XO Internasional dan kemungkinan tidak berlanjutnya pertambangan PT Karya Tambang Indonesia di sekitar Dusun Karangmangu. Lumayan besar saham mereka yang jatuh hampir 80 persen dari nilai saham semula.
Pihak kepolisian juga tidak ketinggalan. Siang harinya, Mabes Polri kemudian menggelar konpers bahwa sudah ada penetapan tersangka dari pelaku dan otak dari rekayasa kecelakaan yang merenggut nyawa dari 10 warga Dusun Karangmangu di Puncak, Jawa Barat. Menurut juru bicara polisi, untuk pencemaran lingkungan kemungkinan juga akan dikembangkan penyelidikan ke arah sana.
Aku kemudian turun ke lobi gedung dan keluar mencari taksi. Aku ingin berbagi keberhasilan ini dengan sahabat masa kecilku. Sahabat yang tidak pernah meninggalkanku meskipun sudah aku sudutkan dengan tiada celah. Aku ingin ke makam Boy, rindu sekali rasanya aku dengannya. Baru sehari aku ditinggalnya, tapi sudah seperti bertahun-tahun ini ia meninggalkan aku sendiri di dunia. Taksiku terus menembus jalanan ibukota dan meluncur ke tempat terakhir Boy. Tak sabar aku bersimpuh dan menceritakan ini semuanya.
Sepanjang perjalanan semua rentetan memori tentang Boy terputar kembali di kepalaku. Bagaimana ia membelaku saat teman-teman SD ku meledekku tanpa henti, Boy kecil kemudian hadir membelaku. Memori bagaimana Boy selalu menghiburku di kala aku sedang bosan karena pekerjaan. Ia yang selalu ada menemaniku walaupun setelah sibuk bekerja. Boy sahabatku masa kecil hingga dewasa yang telah kukecewakan meskipun telah memberikan nyawanya kepadaku.
Aku langsung berlari ke makam Boy begitu sampai di tempat pemakaman. Kupeluk langsung batu nisan Boy. Kuelus-elus tanah menggunduk di makamnya. “Ini untukmu Boy, ini untukmu Boy,” aku berbisik di batu nisan Boy. Meski kutahu Boy sudah tiada, kuberharap Boy masih bisa mendengarku melalui celah-celah tanah yang menggunduk dan berongga ini. Mendengar akhir cerita yang aku jalani atau mungkin juga awal cerita dari perlawananku terhadap XO Internasional.
“Semoga kamu tenang dan bahagia disana. Maafkan sahabatmu ini Boy. Maafkan sahabatmu yang buta dengan kulit dunia ini. Tidak mampu melihat isi dan meneropong ke dalam jauh isi hatimu,” aku terus berbisik ke makam Boy.
“Aku sudah menulis semuanya di Warta Ibukota Boy. Pak Alex dan Pak Johannes meskipun pada mulanya menentangku. Tapi setelah kujelaskan dan mendapat data dari kamu, mereka semua setuju.” Perlahan air mataku yang sudah kering kemarin, mulai meleleh kembali. Mungkin Boy telah mendengarku dan memaafkanku. Tapi, aku tak yakin sendiri, meskipun Boy memaafkanku, apakah aku sendiri bisa memaafkan diriku sendiri.
“PemilikXOInternasionaldanbeberapapejabatyangterlibatsekarang sedang bingung karena ditodong rentetan pertanyaan wartawan dimana saja. Saham perusahaan mereka jatuh. Dan kemungkinan polisi akan melakukan investigasi terhadap pencemaran tambang di Dusun Karangmangu. Kamu yang membuat aku bisa melakukan semuanya ini Boy,” aku terus berbisik di batu nisan Boy. Kupeluk dan kucium sesekali di tiap jeda aku bicara.
“Ini semua untukmu Boy. Ini semua untukmu. Kuharap kamu akan terus menungguku di sana. Sampai Tuhan memanggilku dan kita dapat berjumpa kembali.”
SELESAI
Pondok Aren, Tangerang.
3 Juli 2015, 23:54