3
Seminggu tinggal di rumah paman Handoko di Bintaro seperti terasa sebulan. Karena terlalu sibuk, paman dan istrinya yang bernama Bibi Kanti belum juga mengajakku keliling Jakarta. Alhasil tak banyak daerah di Jakarta yang kujelajahi dalam seminggu ini. Berjumpa dengan mereka pun hanya selepas pulang kerja. Itupun sudah mendekati jam 9 malam. Namun, agak tertolong jika Najwa keponakanku yang masih duduk di kelas 6 SD dan pengasuhnya yang bernama Maria sudah pulang sekolah. Menemaninya bermain seperti menjadi obat kesepian tersendiri bagi gadis sepertiku yang jauh dari kampung halaman. Jika bosan bermain di rumah, Maria biasanya mengajakku jalan-jalan ke taman kompleks, bertiga bersama Najwa. Sekedar menghirup udara segar dan melihat bunga serta pohonan di taman kota yang makin terhimpit bangunan dan gedung-gedung bertingkat.
Baca juga: Novel “GYT” (1)
Tapi kalau mereka semuanya tidak ada di rumah, oh begitu sepinya rumah ini. Seperti kamis pagi ini. Akupun hanya otak-atik laptopku karena sedang sendirian di rumah. Aku berharap dengan menumpahkan huruf-huruf di layar laptopku, aku bisa berpetualang ke dunia antah berantah. Entah ada ujungnya atau tidak, entah itu mungkin bisa terjadi di dunia nyata atau tidak. Huruf-huruf itulah yang kemudian merangkai dirinya menjadi kata dan kalimat yang menemaniku dan membunuh sepiku. Sesekali aku buka media sosial dan emailku untuk sekedar melihat-lihat apakah ada yang baru. Kosong, tak ada satupun email di kotak masukku. Hanya beberapa spam saja yang terlihat di emailku.
“Ini spam tiap hari masuk terus saja ke email. Dihapus sajalah,” gumamku dalam hati. Namun, belum sempat menekan perintah delete, mataku tiba-tiba terkaget pada sebuah email dari Warta Ibukota. Belum habis kekagetanku, tenggorokanku terasa tercekik karena itu adalah email panggilan interview dengan pemred media impianku. Parahnya lagi harus datang jam 12 siang.
“Aduh jam 12 ini. Mendadak sekali sih. Kenapa tidak ditelpon interviewnya. Katanya kok mau ditelpon, kok sekarang pemberitahuannya hanya melalui email. Masuk spam pula,” aku menggerutu sambil bergegas ke kamar mandi.
Setelah kecipak kecipik, aku lalu bergegas ganti baju tanpa sempat berdandan terlebih dahulu. Sebelum berangkat, aku sempatkan terlebih dahulu secarik kertas pemberitahuan untuk orang di rumah kalau aku akan interview kerja. Tak mau membuang waktu yang masih tersisa 2 jam, aku putuskan saja naik ojek menuju kantor Warta Ibukota. Juru selamat pikirku, ojek di Jakarta yang macet ini. Bahkan kota termacet di dunia mungkin.
“Bang ngebutt ya ke kantor Warta Ibukota di Thamrin,” pintaku ke tukang ojek yang menjemput ke rumah.
“Siappp neng.”
Aku sempat menghubungi Boy dalam perjalanan menuju Thamrin. Tapi tidak tersambung sepanjang perjalanan ke kantor Warta Ibukota. Aku penasaran, apakah Boy juga mendapat panggilan berbarengan denganku hari ini. Abang tukang ojek sepertinya cukup profesional. Ia tidak terlalu menggubrisku saat berusaha menelpon Boy. Ia terus memacu saja spedometer motornya secepat mungkin. Sedikit selap-selip tak sampai satu jam, sudah sampai Aku di kantor Warta Ibukota.
Usai membayar ojek, aku bergegas menuju lantai 14 kantor pemimpin redaksi Warta Ibukota. Orang yang memberi warna dalam koran yang opininya biasanya dibaca bapak dan ibuku di kala pagi sebelum beraktifitas. Orang yang sering menjadi dosen tamu di beberapa kampus ternama. Semisal di kampusku sudah 2 kali setidaknya pemred Warta Ibukota datang dan memberikan kuliah wartawan sebagai dosen tamu. Aku masih mengenal wajah dan namanya. Tapi sebaliknya orang nomor satu di media ternama ini, mungkin dan bisa dipastikan lupa kepadaku.
“Siang Mba, mau ketemu dengan Pak Johannes untuk wawancara,” kataku ke penerima tamu di depan kantor redaksi.
“Dengan Mba, siapa?”
“Gayatri Mba.”
“Oke tunggu sebentar Mba, aku sampaikan ke Pak Johannes!”
Lima menit kemudian penerima tamu itu mempersilahkan aku masuk. Sunyi sekali ruangan redaksi Warta Ibukota, tidak seramai hingar bingar berita yang selalu meramaikan kolom-kolom di halamannya.
“Tok, tokk.” Lelaki paruh baya itu masih sibuk dengan laptopnya saat aku mengetuk pintunya. Baru kedua kalinya, ia menengok ke arah pintu. Rambutnya putihnya masih sama ketika ia mengajar di kampusku. Tidak bertambah dan tidak berkurang, hanya tersebar di beberapa bagian saja di rambut hitamnya.
“Siang Pak Johannes, aku Gayatri.”
“Oke masuk,” Bos Warta Ibukota itu mempersilahkan masuk sambil menutup laptopnya. “Kamu sebelumnya sudah bekerja dimana saja, Gayatri?” tanya Pak Johannes sambil membolak-balik cv dan surat lamaranku.
“Belum pernah Pak. Aku sebelumnya hanya menulis di pers mahasiswa saja Pak selama ini.”
“Hmm, kalau menulis di media massa pernah?”
“Sudah pak, tapi biasanya cerpen dan resume buku saja.”
“Apa yang menurutmu bisa meyakinkan kita untuk menerima kamu di media bergengsi ini?”
“Aku orangnya pekerja keras dan berasal dari kampus ternama di Surabaya Pak.”
“Oke cukup, kalau bekerja keras banyak yang bisa. Apalagi yang lainnya yang kamu miliki ?” jawab Pak Johannes datar sekali. Berbeda ketika ia dulu memberikan mata kuliah di kampus, penuh semangat dan menggebu-gebu.
“Hmmm,” pikiranku mendadak kosong mendengar pertanyaan lelaki paruh baya itu.
“Apa yang kurang menurut kamu dari media ini ?” “Hmmm.”
“Oke kamu pelajari dulu ya Warta Ibukota apa kelebihan dan kekurangannya. Nanti kalau oke kita panggil lagi,” Pak Johannes tampaknya tidak sabar menunggu jawabanku.
“Tapi pak, kasih waktu bentar untuk menjawab pertanyaan Bapak!” “Iya itu aku sudah kasih waktu lebih lama untuk kamu.”
“Iya pak, apakah ini aku artinya belum bisa bergabung dengan Warta Ibukota?”
“Iya kita pertimbangkan nanti, karena sebenarnya kita mencari yang sudah berpengalaman. Supaya dapat cepat jalan. Oke kalau sudah tidak ada yang ditanyakan, wawancara hari ini cukup.”
“Hmmm, sebentar Pak kalau boleh aku mau ngomong soal tagline Warta Ibukota?” mulutku tiba-tiba terbuka spontanitas saja saat mataku membaca tagline Warta Ibukota yang tertulis di belakang kursi Pak Johannes.
“Oh kenapa dengan tagline kita . Terpercaya Di Seluruh Indonesia?”
“Iya menurutku salah penulisannya Pak. Itu kan tagline jadi nanti akan memalukan kalau masyarakat tahu itu penulisannya salah.”
“Salah bagaimana menurut kamu ?” Pak Johannes agak sedikit tinggi suaranya.
“Seharusnya tepercaya Pak, tidak menggunakan r atau ter. Silahkan dicek di kamus KBBI kalau Bapak tidak percaya. Baik Pak, kalau sudah selesai wawancaranya. Aku mohon izin untuk pulang.”
“Sebentar, kamu yakin dengan ucapanmu tadi soal tagline Warta Ibukota?”
“Iya Pak. Aku yakin 100 persen. Silahkan dibuktikan sendiri !”
Pak Johannes kemudian menelpon seseorang sejenak sebelum aku beranjak dari kursi. “Alex kamu kesini sekarang, bawa kamus KBBI ke kantor sekarang juga !”
Seorang lelaki yang mungkin lebih muda beberapa tahun dari Pak Johannes kemudian masuk membawa kamus KBBI. Aku yang merasa tidak enak kemudian hendak keluar dari ruangan Pak Johannes. Tapi lelaki itu tidak mengizinkanku meninggalkan ruangannya. Sepertinya ia ingin membuktikan kalau ucapanku soal tagline yang sudah puluhan tahun itu salah.
“Lex kamu cek, tagline kita apa itu bunyinya. Menurut anak ini, siapa namamu?”
“Gayatri Pak .”
“Iya menurut Gayatri yang benar adalah tepercaya bukan terpercaya. Kamu cek itu di kamus!”
“Iya pak, tapi masa iya salah sampai puluhan tahun Pak,” jawab lelaki bernama Alex itu.
“Sudah kamu cek saja !”
Alex kemudian membalik beberapa lembar Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tebal itu. Hingga kemudian sampai kepada kata percaya. Jemarinya tampak mengurut satu persatu awalan dan imbuhan dari kata percaya. Seakan tidak percaya, ia membaca berulang-ulang kata dan arti di halaman itu.
“Iya Pak, aku kok tidak menemukan ya terpercaya. Yang ada itu Tepercaya yang artinya paling dipercaya atau dapat dipercaya,” Alex garuk-garuk kepala sambil melihat Pak Johannes.
“Lho kamu kok ga yakin dengan jawabanmu.” “Salah kali ini Pak, cetakan kamusnya?”
“Mana mungkin kamus bisa salah. Coba kamu hubungin dosen pascasarjanamu itu. Ia orang sastra pasti paham masalah ini !”
“Iya Pak sebentar.”
Alex kemudian langsung menghubungi dosennya melalui ponsel. Merasa tidak enak terdengar suaranya, Alex agak menepi, menjauh dari kami. Mimik mukanya seperti orang yang mendapatkan kebenaran tapi pikirannya tak siap menerima kebenaran itu. Sama halnya dengan orang yang mengetahui kebenaran tentang Tuhan tapi berusaha sekuat mungkin menyangkalnya. Setelah menutup telponnya, Alex juga masih ragu mendekat ke Pak Johannes.
“Bagaimana Lex ?”
“Iya Pak ternyata benar tepercaya Pak.”
“Aduh bagaimana sih kamu, masa selama ini bisa tidak tahu yang begini. Masa kamu sebagai editor senior di sini juga tidak paham ada kesalahan seperti ini. ”
“Pak, aku izin keluar dari ruangan ini. Sepertinya interviewku sudah selesai. Jadi aku minta izin untuk pulang!”
“Bentar, kamu diterima.”
“Aku diterima Pak?”
“Iya kamu diterima.”
“Kok bisa Pak, katanya nanti dihubungi lagi?” tanyaku masih tidak percaya dengan Pak Johannes.
“Sudah, besok kamu besok datang pagi pukul 7 pagi. Sekarang kamu minta ke Alex untuk alat rekam dan surat tugas dan sebagainya sebelum ada id card. Alex kamu bantu Gayatri ya!”
“Siapp Pak,” lelaki yang bernama Alex tampak manggut-manggut saja.
Sementara aku, rasa senang, bahagia, perasaan takut campur aduk dalam isi kepalaku. Takut jika nantinya tidak bisa memenuhi standar kerja Warta Ibukota. Yang selama ini, wartawannya terkenal pantang menyerah membongkar kasus. Kerja siang malam tak kenal lelah. Bahkan tak jarang pula, aku mendengar dari senior-seniorku yang sudah menjadi wartawan terlebih dahulu, kantor Warta Ibukota sering mendapat ancaman dari orang-orang yang tidak suka dengan berita investigasi dari media ini.
Baik ancaman telpon, surat ataupun teror langsung dari preman-preman yang datang ke kantor. Bahkan yang terakhir ancaman bom, hingga polisi harus turun tangan menjinakkannya. Tapi terlepas dari itu, aku merasa puas dengan perjuanganku minggu ini. Harapan bapak dan ibuku yang mengizinkanku ke Jakarta terbalas sudah. Anaknya menjadi wartawan, pekerjaan yang mungkin mendekati dari keahlianku semenjak kecil. Yakni membetulkan kata-kata yang salah kemudian dirangkai menjadi kalimat-kalimat hingga menjadi paragraf lalu menjadi makna.
Baca juga: Novel “GYT” (2)