4
Beberapa muda-mudi asyik mengobrol di pojokan kafe. Obrolannya meloncat-loncat dari politik, budaya sampai ke ide-ide bisnis. Sesekali saja ngobrol soal pelajaran mata kuliah mereka. Itupun tak lebih dari 5 menit, langsung meloncat lagi ke soal politik dan bisnis mereka. Aku yang duduk sendiri di meja sebelah mereka tak sengaja mencuri dengar obrolan mereka. Luar biasa pikirku, anak-anak yang kuliah di Ibukota ini. Tak hanya belajar seperti zamanku kuliah. Mereka sudah lebih cepat dalam menerapkan ilmu-ilmu mereka. Sesekali aku mengaduk-aduk minuman jus di gelasku supaya tak terlalu terlihat menguping obrolan mereka.
“Hai, hai, selamattt, selamat ya. Akhirnya kamu berhasil,” Boy mengagetkanku. Ia akhirnya datang juga setelah hampir sejam aku menunggunya di kafe Maja .
“Ah kaget Aku, Boy!” Boy hanya tersenyum saja. Pakaiannya sedikit lebih rapi dari pertama kali aku bertemu dengannya di psikotes Warta IbuKota. Seperti eksekutif muda yang berkeliaran di Ibukota. Sementara aku selalu dengan penampilan sederhanaku. Kaos dan celana jeans plus acecoris kalung besar yang bergelantung di leherku.
“Akhirnyaaa jadi wartawan juga sahabatku ini.”
“Tapi kamu Boy, bagaimana? Tunggu saja nanti pasti dipanggil interview lagi dan diterima dan kita bisa kerja bersama.”
“Hmmm, aku, aku hehehehhe.”
“Lhooo kok kamu malah tertawa senang si Boy ?” tanyaku bingung melihat Boy yang justru tertawa girang.
“Aku, aku diterima kerja di XO Internasional Ci.”
“Apa ? kamu diterima di perusahaan tambang internasional itu. Ahhh yang benar kamu?” Boy manggut-manggut kepadaku.
“Gila kamu Boyyy. Luar biasa kamu Boy.” “Siapa dulu. Boyyyy hehehehe.”
“Pesan apa mas ?” tanya pelayan kafe pada Boy yang tengah asyik ngobrol denganku.
“Kopi hitam 1 Mba.”
“Ada yang lain ?”
“Nggak. kopi hitam saja 1 ya. Makasih ya.”
“Baik 1 black coffe ya,” pelayan itu kemudian masuk ke dalam dan kembali dengan cepatnya membawa 1 cangkir kecil kopi hitam pesanan Boy. “Silahkan black coffenya.”
“Oke terima kasih. Tuh liat Aci. Aku pesannya kopi hitam ditulisnya black coffe. Kenapa coba ?”
“Hmm sama saja bukan, sama-sama kopi hitam kan ?”
“Beda. Nihhh coba kamu lihat harga black coffe disini 10 kali lipat harga kopi hitam di warung-warung. Rp 2 ribu dibanding Rp 20 ribu, beda kan?”
“hahahaha iyaaa cuma beda bahasa saja beda harganya. Luar biasa pengaruh bahasa.”
“Yuuuppp itulahhh.”
“Tapi sudah Boy jangan mengalihkan obrolan. Tetap saja aku lebih baik dari kamu”
“Lebih baik darimananya, tidak mungkin Boy terkalahkan dari seorang cewek. Tidak mungkin, tidak mungkin,” Boy mengejekku sambil menggerakkan jari tunjuknya ke kanan kiri, seakan menegaskan tudinganku tidak akan mungkin benar.
“Iyalah, meskipun kamu diterima kerja di XO Internasional. Tetap saja kamu tidak lolos diterima menjadi wartawan Warta Ibukota,” aku tak mau kalah dari Boy. Ia kemudian menunjukkan email panggilan interview di ponselnya.
“Apa? kamu diterima juga, tapi tidak kamu ambil?”
“Maaf ya Aci. wartawan hanya pilihan keduaku hahahaha.” “Katanya mau menjadi pewaris ilmu profetik.”
“Iya ternyata keinginan tidak selalu menjadi kenyataan Aci.”
“Wuuuu selalu ada saja kamu alasannya Boy. Kalau tidak mau masuk, mengapa ngelamar susah-susahin orang lain saja. Aku kan jadi lama dipanggilnya gara-gara kamu.”
“Hehehehe sudah-sudah ayo kita rayakan kemenangan kita berdua. Kamu diterima kerja di Warta Ibukota dan aku di XO Internasional.”
“Hehehhe siap. Kamu yang bayar ya. Kan kamu diterima kerja juga!”
“Lho kan kamu yang undang aku ke kafe ini. Kok aku yang ditodong membayar ?”
“Hehehe daripada nanti aku beritakan kamu !”ancamku bercanda ke Boy.
“Ampun-ampun, dasar wartawan betina. Ancam sana ancam sini hahahha.”
“Tapi apakah itu berarti nanti kamu akan kembali bekerja ke Amerika Serikat tempat kamu belajar, Boy?”
“Tidak Ci, aku akan bekerja di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Kebetulan 2 tahun ini ada beberapa proyek XO Internasional sedang berjalan di Indonesia.”
“Ah syukurlah kalau begitu. Kan kalau kamu kembali ke Amerika Serikat kita tidak bisa bertemu lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.”
“Kenapa kamu memang kalau aku bekerja di Amerika Serikat. Apa kamu merasa kehilangan jika aku tidak ada di Indonesia? Boy tiba-tiba serius sekali bertanya kepadaku soal kepergiannya. Aku menjadi kikuk juga menjawab melihat tatapan matanya.
“Ah bukan begitu Boy. Kalau di Indonesia kan kita bisa bermain kemana-mana seperti saat SMP dulu,” aku berusaha mencairkan suasana lagi sehingga tidak terbawa ke hal yang serius. Boy tampaknya juga mengerti aku tidak ingin bicara yang serius tentang persahabatanku dengannya.
“Iya, iya benar juga pemikiran kamu. Baiklah nanti aku akan minta supaya ditempatkan terus di Indonesia.”
“Memang bisa begitu Boy ?”
“Iya bisalah kenapa tidak bisa. Gitu aja repot.” “Hahaha kamu ini bisa saja.”
“Semuanya bisa diatur, bisa direncanakan, kalau kita mau Aci.”
“Ah tidak semuanya Boy. Ada beberapa hal yang tidak bisa kita gerakkan di dunia ini.”
“Kalau kamu punya uang yang banyak, kekuasaan yang besar semua yang kamu mau pasti bisa Ci. Apalagi kalau di Indonesia.”
“Tidak semua Boy. Apalagi karena kamu di Indonesia, tidak semuanya bisa kamu atur. Mungkin para pejabatnya dari RT sampai menteri bahkan presidennya mungkin bisa diatur atau kamu beli dengan uang. Tapi bangsa Indonesia belum tentu Boy.”
“Hmm, iya mungkin benar menurut kamu. Atau mungkin kamu suatu waktu nanti juga bisa salah. Hanya waktu.”
“Ah sudahlah Boy kamu diskusinya serius muluh sama kayak lulusan-lulusan Harvard lainnya. Serius dan penuh ambisi hahaha.”
“Hahaha, maaf apalah daya otakku ini sudah didesign oleh Tuhan untuk bisa berpindah cepat dari serius kemudian ke santai lalu kembali serius, seperti halnya gigi mobil yang berpindah-pindah hehehe.”
“Oke kalau begitu Boy, mari kita pesan semua makanan yang enak di kafe ini. Kita rayakan kesuksesan kita berdua saat ini.”
“Siapa takut makan puas sebanyak-banyaknya hahaha.”
Usai menyantap semua makanan spesial di Kafe Maja kamipun beranjak pulang ke rumah masing-masing. Aku tak mau hari pertamaku bekerja berantakan kalau harus berlarut-larut ngobrol hingga malam dengan Boy. Belum lagi kalau sudah jam 10 malam sangat sulit sekali mencari angkutan ke rumah. Kereta sudah tutup, bus kota juga tiada. Kalau sudah begitu tentu taksi atau ojek pilihannya. Dan itu artinya pengeluaran semakin membengkak. Ditambah lagi untuk gadis yang berpenghasilan sepertiku. Pikirku tersenyum sendiri dalam hati.
Baca juga: