5
Udara pagi sekitar Thamrin masih sejuk belum tercemari timbal kendaraan Ibukota. Sinar matahari juga terasa hangat menyelimuti kulit. Beberapa kali aku menghirup napas panjang untuk menikmati udara yang langkah ini. Lobby gedung Warta Ibukota juga belum terlihat hiruk pikuk. Hanya seorang penjaga dan beberapa karyawan yang terlihat di loby.
“Pagi Pak,” sapaku ke penjaga lobi.
“Pagi amat Mba, masih jam 6 pagi sudah datang?”
“Iya pak,” aku hanya tersenyum saja kepada satpam itu. Ada tenaga yang berlebih yang kurasakan pagi itu. Rasanya sudah tidak sabar lagi untuk memulai hari pertamaku di Warta Ibukota. Bertukar ide dengan wartawan-wartawan lain tentang liputan yang menarik. Lalu berkenalan dengan wartawan-wartawan senior di sana. Menggali ilmu dari mereka, bagaimana menembus narasumber yang njlimet untuk liputan-liputan investigasi. Lalu bagaimana pula rasanya tulisanku nanti akan bertengger di Warta Ibukota, kemudian sampai ke desaku dan dibaca bapak ibu. Dan akan lebih menarik lagi jika tulisanku menjadi HL, ditulis paling depan dan mengisi penuh halaman muka koran. Pasti menyenangkan sekali pikirku.
“Hmmm lantai berapa ya kemarin kantornya. Lantai 14 atau lantai 15 ya?”gumamku berusaha mengingat lantai kantor.
“Ah sudahlah pencet saja nanti juga ketahuan kalau sudah di lantai 14 atau 15.”
Pintu lift tidak lama kemudian terbuka. Tapi belum sempat aku melangkahkan kaki ke dalam lift, ponselku berdering kencang. Aku sedikit terkaget ketika melihat nama penelpon di ponselku. Pak Alex, redaktur senior Warta Ibukota.
“Gayatriiii , lama amat angkat telponnya ?” “Iyaa pak, ini sudah sampai kantor aku.”
“Oke bagus, sekarang kamu ke KPK sekarang ya!” “Ke KPK pak?”
“Iya KPK, aku mendapat informasi tadi pagi ada operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap salah satu menteri. Kamu ke sana cari informasi sebanyak mungkin dan buat beritanya ya !”
“Baik Pak, tapi Pak aku belum tahu tempat KPK?” tanyaku ragu.
“Gayatri. Cari, tanyalah masa harus disuapin juga nyari alamat begini. Oke, aku tidak mau lagi pertanyaan sepele begini ada lagi.”
“Hmmm baik Pak.”
“Oh ya kalau takut kelamaan nanti naik taksi ajau ojek aja. Nanti ongkosnya kamu tagih ke kantor,” telpon Pak Alex langsung dimatikan, sebelum aku sempat menjawabnya.
Aku kemudian bergegas lari keluar lobby menuju tepi jalan raya menunggu taksi. Beruntung tak lama kemudian,aku sudah mendapatkan taksi.
“KPK bang!”
“Lewat mana neng?”
“Mana saja bang yang penting cepat !”
Taksi biru itu kemudian menembus dengan cepatnya udara pagi. Satu dua mobil yang sudah absent di jalanan Ibukota berhasil dilaluinya dengan cantik. Sementara aku berusaha melirik argo di tengah dashboard mobil yang terus berputar. Berharap angka-angka berwarna merah itu tidak lebih tinggi daripada uang yang di dompetku.
“Neng kita muter di Monas saja ya.”
“Iya bang,” aku jawab sekenanya sopir taksi itu.
Pandanganku sedikit aku arahkan ke arah tugu monas yang berdiri tegak itu. Mumpung lagi lewat pikirku. Meskipun sudah seminggu lebih di Jakarta, belum juga aku bermain ke Monas dan naik ke puncak tertingginya. Sementara, sopir taksi terus melaju dengan kendaraannya. Seperti tidak ada yang istimewa lagi baginya, gedung-gedung di sekitar bundaran ini. Gedung yang ditempati pemimpin-pemimpin negeri ini dan orang nomor 1 di Jakarta. Setelah melewati beberapa kolong dan bypass, 15 menit kemudian, sampai sudah aku di gedung KPK.
Kerumunan wartawan terlihat sudah ramai di halaman depan gedung KPK. Puluhan tripod lengkap dengan kamera sudah berjejer rapi di ujung depan gedung KPK. Sementara para photograper lebih memilih duduk-duduk di sekitar tangga menunggu sang menteri yang kabarnya ditangkap datang. Sementara, aku masih kebingungan harus memulai darimana untuk tugas pertamaku. Tidak satupun wartawan di sini yang aku kenal. Aku kemudian mencoba beringsut ke wartawan yang duduk sendiri di pojokan gedung. Mungkin, aku bisa memulai bertanya kepadanya, sehingga tidak terlalu terlihat kalau aku adalah wartawan baru.
“Hai bang,” sapaku ke salah satu wartawan yang sedang duduk sendirian
“Yap,” jawab wartawan itu dengan singkat.
“Gayatri, bang,” aku berusaha memperkenalkan diri. Lelaki itu senyum saja dan mengulurkan tangannya untuk berkenalan denganku juga. Namun, belum sempat mengucapkan namanya. Sebuah mobil masuk ke dalam lobi gedung KPK. Spontan saja wartawan yang sudah lama menunggu, langsung menggeruduk mobil yang entah siapa di dalamnya. Tanpa menunggu komando, aku juga ikutan masuk dalam kerumunan wartawan itu. Alat perekam yang sudah siap di dalam tas, aku ambil untuk persiapan wawancara.
“Pak Khoirul, Pak.Khoirul bisa dijelaskan maksud kedatangannyanya ke sini Pakk ? Pak Khoirulll bentar saja Pak, sebentar,” rentetan pertanyaan wartawan itu sahut menyahut tiada henti-hentinya. Sang empu nama Khoirul masih bergeming mencoba merangsek ke gedung KPK. Namun, tampaknya kerumunan wartawan itu tak rela, jika lelaki itu melenggang begitu saja. Salah satunya aku yang terjebak di kerumunan wartawan itu. Wartawan pemula yang ingin ikut-ikutan saja dengan kuli tinta lainnya. Sekedar menyorongkan alat perekam dan mendapatkan suara narasumber kemudian diolah sedikit menjadi berita.
“Hmmm, Hmmm.” Lelaki yang dipanggil Khoirul akhirnya berhenti sejenak setelah tidak dapat lagi berjalan di tengah lautan wartawan itu. “Teman-teman wartawan aku ke sini ingin mendampingi bapak saja, terkait dengan penangkapan KPK tadi pagi. Mungkin teman-teman sudah lebih tahu informasinya daripada aku. Sekarang aku minta izin masuk dahulu ya. Nanti kalau sudah dapat informasi, akan kujelaskan semuanya,” ujar Khoirul panjang lebar.
“Pak Khoirul apakah ini berkaitan dengan korupsi tambang di Kalimantan ?” seorang wartawan tiba-tiba nyeletuk dari sisi tengah.
“Aku belum bisa jawab sekarang. Nanti ya aku masuk dulu!”
Pihak keamanan kemudian mencoba membantu lelaki bernama Khoirul membelah kerumunan wartawan di KPK. Tubuh kurusku juga terhuyung-huyung, terdorong beberapa wartawan yang berada di belakangku.
“Pak Khoirul, Pak Khoirul sebentar Pak, benar tidak Pak, Pak Khoirul sebentar Pak. Apakah ini ada kaitannya dengan menteri lainnya juga,”berondongan pertanyaan dari wartawan terus menghantam Khoirul. Ia pun akhirnya terpaksa berhenti kembali karena terkepung wartawan sehingga tidak bisa lewat.
Ponselku tiba-tiba berdering ketika ratusan wartawan masih mengepung lelaki bernama Khoirul. “Haloo, Pak Alex.”
“Bagaimana kondisi di KPK Gayatri ?”
“Iyaa Pak disini,” belum selesai aku menjawab pertanyaan Pak Alex, tiba-tiba terdengar teriakan keras ke arahku. “Hai kamu!” lelaki bernama Khoirul membentakku dengan keras. “Jaga ituu ya tangan kamu !”
Tanpa sengaja alat perekamku ternyata menyodok mulut lelaki bernama Khoirul ketika aku mengangkat telepon dari Pak Alex. Kontan saja semua wartawan juga ikutan heboh. Pasalnya Khoirul menunjuk-nunjukku dan terus meracau. Sekilas aku melihat bibirnya memerah karena sodokan alat perekamku. Aku yang merasa bersalah pun hanya bisa meminta maaf lirih atas insiden tersebut. Sedikit beruntung kicauan wartawan yang ingin mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, dapat menutupi kemarahan Khoirul.
Aku lalu beringsut mundur perlahan dari kerumunan dengan harapan insiden tersebut secepatnya berakhir. Perasaan malu dan takut juga menghinggapiku yang pertama kali meliput. Ah malu sekali, rasanya. Dari belakang aku melihat, Khoirul sudah hendak masuk ke dalam ruangan. Nampaknya, ia juga tidak ingin insiden itu justru menjadi HL di beberapa media mengalahkan kasus yang sedang ditanganinya. Aku diam-diam juga mengamini perkiraan pikiran Khoirul. Aku tak bisa membayangkan jika itu terjadi. Malu dengan bapak ibu kalau sampai mereka nantinya mengetahui insiden itu. Belum lagi harus membuat alasan kepada Pak Alex, jika berita itu sampai ke telinga kantor.
Baca juga: