8
Selalu tak ada yang istimewa di ruangan redaksi Warta Ibukota. Tak jauh berbeda ketika aku pertama kali masuk ke ruangan ini saat interview. Selalu sunyi. Satu sama lain sibuk dengan meja komputer masing-masing. Hanya satu dua suara saja yang kadang terlintas di ruangan redaksi itu. Semua pesan disampaikan lewat elektronik. Baik melalui grup BBM, Whatsapp. Tak cukup itu, chat melalui jaringan antar komputer juga dipakai. Sangat efisien dan hingga tak perlu lagi banyak obrolan secara nyata antar pegawai satu sama lain. Tapi cukup chatting melalui internet, BBM atau Whatsapp.
“Oke oke semuanya kumpul,” Pak Johannes tiba-tiba keluar dari ruangan dan bertepuk tangan memberikan tanda semua yang ada dalam ruangan sepi itu harus menengah. Satu persatu wartawan dan redaktur kemudian menderet kursi masing-masing mencari tempat di depan papan tulis.
“Oke ada kabar buruk dan kabar baik yang ingin aku sampaikan.”
“Kabar baik dulu Pak,” seseorang tiba-tiba nyeletuk dari belakang. Tak jelas tapi siapa yang ngomong.
“Oke oke, aku sampaikan kabar baiknya dulu. Tahun ini untung kita naik 2 kali lipat,” semua yang di ruangan serempak tepuk tangan dan bersorak gembira mendengar kabar itu.
“Asyik, bonus besar dong Pak, tahun ini !” seseorang kembali nyeletuk dari arah belakang. Pak Johannes tetap tenang dan melanjutkan bicaranya.
“Iyaaa pastii dong ituuu.” Semuanya tepuk tangan mendengar jawaban Pak Johannes. Wajah-wajah sumringah tampak jelas di ruang redaksi pagi itu. Termasuk aku tentunya.
“Nah kabar buruknya,” sorak sorai perlahan menghilang dan kembali penghuni ruangan itu memasang wajah serius.
“Kabar buruknya, pesaing kita sekarang semakin tangguh. Kalian lihat dong QY-News. Liputannya semakin mendalam. Pembacanya mulai meningkat. Iklan mulai muncul sedikit demi sedikit. Kalau dibiarkan bisa diambil kue kita,” Pak Alex mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan bicaranya. Kue yang dimaksudnya tentu adalah jatah iklan.
“Tidak bisa tidakk, berita kita harus semakin menarik dari mereka. Liputan eksklusif harus diperbanyak. Kita yang harus buat isu berita sendiri. Jangan seperti media-media pengekor lainnya. Tukang intip media orang, terus ramai-ramai memberitakan isu yang sama. Aku ga mau seperti itu. Pokoknya Warta Ibukota harus menjadi leader. Beritanya mesti dikutip semua media. Jadi ingat eksklusif dan buat isu sendiri.”
Aku yang masih kurang begitu paham strategi media yang dibicarakan Pak Johannes hanya manggut-manggut saja di kursi bagian tengah. Tapi, mereka yang lama juga tampaknya sama,masih terdiam mendengarkan penjelasan orang nomor satu di media ini. Belum ada yang menyanggah ataupun menambahkan.
“Termasuk kamu Gayatri,” Pak Johannes tiba-tiba menunjukku dan membuatku kaget karena mendengar namaku disebut.
“Kamu sudah berapa bulan ?”
“Enam bulan Pak.”
“Iya seharusnya kamu sudah mulai bikin tulisan yang lebih mendalam. Tidak hanya sportnews-sportnews saja. Mulai bulan depan kamu harus sudah mulai itu. Kalau kamu bisa buat tulisan mendalam bukan tidak mungkin kamu akan cepat naik menjadi editor. Tapi yang harus dikerjakan kamu minggu ini harus dapat 1 wawancara eksklusif. Direktur salah satu BUMN yang lagi naik daun bisa kamu kejar mulai hari ini!”
“Baik Pak,” jawabku datar sambil berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk bisa menyelesaikan tugas itu.
“Oke, sebelum aku tutup obrolan ini. Ada yang ingin disampaikan?”
Satu persatu redaktur-redaktur senior kemudian memberikan pandangannya. Mereka saling serang dan mempertahankan pendapat masing-masing. Beberapa data penelitian juga tak luput mereka utarakan untuk mendapat simpati Pak Johannes. Sementara, aku menjadi pendengar setia. Pikiranku hanya melayang bagaimana mengejar itu Dirut yang terdengar pendiam dan susah diwawancara. Bahkan, senior-seniorku yang di Warta Ibukota juga gagal mendapatkan wawancara Dirut Top dan nyentrik itu. Apalagi aku pikirku.
####
Jam dinding sudah menunjukkan angka 12 malam. Tapi, mataku masih tajam menatap layar komputer di kamarku mencari biodata Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI). Bagaimana sepak terjangnya selama ini. Prestasinya apa saja selama ini, sehingga digandrungi masyarakat dan disanjung-sanjung Menteri BUMN, atasannya. Inti sari informasi itu kemudian kuperas untuk mempertajam pertanyaan-pertanyaanku nanti. Meskipun sudah hampir 3 hari ini, tak satupun surat yang kukirim ke direktur KAI yang terbalas. Melalui sekretarisnya sudah, melalui humas perusahaan sudah. Melalui nomor HP yang konon nomor HP miliknya yang sudah tersebar luas di facebook, twiter juga sudah. Tak ada satupun yang terbalas.
Tak hanya itu, beberapa kali aku juga langsung ke kantornya. Tapi hasilnya selalu nihil, meskipun sudah menunggu berjam-jam di kantornya. Selalu ada saja alasan dari pegawai-pegawainya untuk mengusirku. Pernah juga aku mengejar langsung ke rumahnya. Tapi penjaga rumahnya selalu bilang bosnya tidak ada di rumah. Katanya sedang di rumah satunya lagi. Tapi, begitu aku datang ke alamat rumah yang diberikan penjaganya, hasilnya nihil juga. Dan jawabannya nyaris sama dengan penjaga sebelumnya.
“Grtttt grrtttt …Grrtttt,” ponselku tiba-tiba bergetar tengah malam. Kulongok jam dinding sudah di angka pertengahan 1 dan 2. Tapi tetap saja kuangkat telpon itu.
“Iyaa Pak.”
“Gayatri kamu ke kawasan puncak ya sekarang. Ada kecelakaan di sana!”
“Hah yang bener Pak, tapi ini sudah jam 00.30 malam Pak.”
“Sudah kamu berangkat ke sana. Naik taksi saja supaya aman,” Pak Alex kembali seperti biasanya menutup telponnya tanpa menunggu jawabanku lagi.
###
Udara dingin kawasan puncak menyusup melalui pori-pori kulit. Bahkan jaket tebal yang aku pakai dobel dengan jas hujan tak juga mampu menghalau udara dingin itu. Rintikan hujan sesekali masih turun menyiram lokasi kejadian kecelakaan. Deritan tali mobil derek yang tengah berusaha mengatrol mini bus yang terjatuh, terdengar sesekali. Beberapa petugas medis juga susah payah mengangkat para korban dari dasar jurang. Sementara Pak Sobary, Kepala Polisi Bogor yang tak asing dengan awak media terlihat masih membantu personelnya mengatur lalu lintas.
“Malam Pak Sobary,”aku langsung menyapa petinggi polisi itu. Beberapa wartawan yang sudah hadir juga ikut merapat ke Pak Sobary ketika aku menyapanya.
“Bentar ya Mba !” Usai memberikan beberapa instruksi kepada anak buahnya, Pak Sobary kemudian mengambil posisi untuk bincang-bincang dengan wartawan. “Oke, apa yang bisa kami bantu ?”
“Bisa dijelaskan sedikit Pak Sobary tentang kecelakaan ini ?” tanyaku langsung.
“Baik. Ini tadi ada sebuah kendaraan minibus terperosok masuk jurang. Ada 10 orang korban tewas akibat kecelakaan tersebut. Kecelakaan diduga karena jalanan licin karena hujan. Oke itu yang bisa saya sampaikan.”
“Kejadiaannya jam berapa Pak ?” salah seorang wartawan di belakang kerumunan kemudian menyambung pertanyaanku.
“Hmm kita belum bisa pastikan kejadiannya. Nanti akan kita tanya saksi-saksi untuk memastikannya. Oke oke.”
“Pak bangkai kendaraan sudah terangkat,” salah seorang personel polisi melapor ke Pak Sobary
“Oke.”
Pak Sobary kemudian merapat ke arah bangkai minibus yang sudah terlihat kepalanya di pinggir jalan. Aku dengan beberapa awak media lainnya kemudian mengambil beberapa foto minibus yang sudah desok-desok. Setelah tim evakuasi berhasil mengangkat keseluruhan bangkai minibus, aku masih tak puas mengabadikan setiap detail badan kendaraan itu. Mulai dari sisi depan, belakang, samping kiri dan kanan tak luput dari jepretan kameraku. Bekas perosotan ban mobil juga tak lupa aku jepret untuk sekedar dokumentasiku. Sudah kerja pagi-pagi kepalang tanggung pikirku. Semua yang ada di lokasi harus tidak ada yang boleh terlewatkan mata kameraku.
Aku juga sempat berbincang-bincang santai tanpa direkam dengan petugas polisi yang datang terlebih dahulu. Bagaimana awalnya, ia mendapatkan laporan pertama kali soal kecelakaan di Puncak, Bogor Jawa Barat ini. Siapa yang melapor dan jam berapa laporannya diterima. Ia ceritakan semuanya dengan leluasa tanpa ada rasa khawatir omongannya akan kukutip. Lumayan untuk menambah-nambah background berita pikirku.
Tak luput pula petugas derek mobil yang mengangkat bangkai mini bus yang terperosok ke jurang juga kuajak berbincang santai. Apakah tim derek mobil ini selalu yang menangani setiap terjadi kecelakaan di sini. Seberapa sering terjadi kecelakaan di lokasi ini dalam seminggu dan sebulan. Biasanya mobil-mobil plat mana saja yang sering kecelakaan di lokasi ini.
Setelah semua informasi sudah kudapatkan dari beberapa orang di sana, kucatat sebentar informasi informal itu dalam buku saku kecilku. Cukup membantu biasanya informasi-informasi yang datangnya dari sumber sekunder. Bahkan bisa menjadi nilai-nilai humanis tersendiri dalam sebuah berita. Karena sudah tidak ada lagi yang perlu kugalih, aku lalu mencari taksi untuk pulang ke rumah. Kulirik arlojiku sudah menujuk ke angka 3. Luar biasa sekali pikirku pekerjaan wartawan.
Baca juga: Novel “GYT” (1)